"Cinta itu ibarat bom waktu, tinggal menunggu saja kapan waktu ledaknya"
__Malaika Farida Najwa__
Aku melihat kalender dengan was-was, sekarang sudah tepat sebulan lamaran mas Faiz kugantung. Laki-laki itu tengah sibuk dengan pekerjaannya diluar kota. Ia bilang sebulan atau dua bulan dia akan sibuk dengan urusn pekerjaan, selama itulah dia memberikan aku waktu untuk berpikir dan menimang-nimang. Tapi sampai sekarang rasanya aku tak menemukan jawaban, kode dari Allah lewat mimpi pun tak pernah kudapat padahal setiap malam shalat istikharahku tak pernah kulewatkan. Ada apa ini ya Allah? Sebenarnya apa rencana-Mu yang tak hamba ketahui?
Aku menghela napas gusar, takut jika sebentar lagi mas Faiz meminta jawaban. Apa aku harus bertanya kepada umi? Ah sepertinya aku memang harus bertanya. Jika kubiarkan, setahun pun aku tak akan dapat jawaban. Dengan langkah pasti kuambil tas dan berjalan keluar rumah, mataku menerawang kesana-kemari sebelum akhirnya berjalan cepat ke Panti Asuhan.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam. Eh ada mbak Najwa." Ranti, salah satu anak panti menjawab salamku sambil tersenyum. Ia memberitahuku jika hari ini umi mengajak anak-anak panti ke rumah salah satu donatur untuk kegiatan amal.
"Mbak Najwa mau nunggu umi? Kalau mbak nunggu kayaknya bakalan lama soalnya acara amal sampai sore."
Aku menghela napas gundah, jika bukan pada umi kepada siapa aku harus menceritakan keluh kesah? Sedangkan sekarang hatiku sendang gelisah-gelisahnya. Kalau aku bercerita kepada Zahra maka yang ada dia akan mengatakan untuk memilih yang terbaik menurutku sedangkan sampai sekarang aku saja tidak tahu aku harus berbuat apa.
Apa sesusah ini ya kalau dilamar?"Mbak Najwa." Ranti memanggilku yang masih kalut dengan pikiran sendiri. Aku celingukan ketika mendengar suaranya
.
"Mbak ke toko aja deh Ran, masih banyak yang mbak harus kerjain. Nanti bilang aja ke umi kalo mbak datang." Aku menitip pesan kepada Ranti yang dihadiahi jempol pertanda oke. Akupun berjalan keluar panti untuk pergi ke toko. Aku berharap semoga hari ini segala hal tentang mas Faiz tidak mendatangiku._ _ _
Aku melihat pesan yang baru saja masuk dengan tatapan tak berkedip. Jantungku yang sedari pagi berpacu tidak tenang kini mulai bekerja normal. Sebuah pesan singkat dari sosok yang seharian ini membuatku khawatir berhasil membuatku mengucap Alhamdulillah.
Mas Faiz: Assalamualikum Najwa. Mas sepertinya tidak bisa kembali bulan ini, pekerjaan di kantor sangat banyak. Sepertinya mas bisa pulang bulan depan. Mas harap kamu sudah mempersiapkan jawaban untuk pertanyaan mas sebulan yang lalu
Pesan itu sudah jelas mengisyaratkan agar aku segera mendapat jawaban, tapi setidaknya jawabanku tak diminta dalam waktu dekat. Aku bersyukur Allah masih mengabulkan permohonanku yang kedua setelah permohonan yang pertama untuk segera mendapatkan jawaban. Permohonan penambahan waktu.
"Ada apa Naj?"
Aku langsung meletakkan ponsel ke dalam tas ketika Jihan memanggilku. Kami tengah makan bakso di salah satu lapak pedagang kaki lima langganan kami ketika malam minggu. Biasanya Zahra juga ikut, tapi malam ini ia tengah sibuk di kantor sehingga tidak bisa ikut hadir. Aku dan Jihan cukup memaklumi, dari kami bertiga hanya Zahra yang kerap absen saat ada acara kumpul bersama. Jam kerja Jihan hanya menuntut wanita itu untuk tetap di rumah sakit sampai sore sedangkan aku bisa kapan pun bertemu dengan kedua sahabtku itu. Tidak ada urusan pekerjaan yang membebaniku setiap hari. Toko bunga yang kumiliki sejak tiga tahun lalu tidak terlalu menuntutku untuk kerja ekstra.
"Tidak apa-apa. Aku hanya sedang sibuk memikirkan bagaimana rasa bakso kita malam ini."
Jihan tersenyum miring. "Seperti kamu tidak pernah merasakan bakso saja Naj."
"Maklum aku lagi diet," ucapku sambil tertawa. Jihan mencubit pipiku yang kubalas dengan mencubit pinggangnya.
"Rasain, siapa suruh suka banget cubit pipi orang."
"Ye kamu aja tuh yang sok banget tiap hari bilang diet tapi nyatanya semua makanan kamu lahap habis."
Kami berdua tertawa bersama. Jihan memang selalu berhasil membuat moodku berubah-ubah. Sikapnya yang energik dan cerewet membuatku gagal bad mood.
"Btw tadi aku liat sekilas nama mas Faiz di hape kamu. Hayooo ada apa?" Jihan menyikut lenganku. Aku diam atas pertanyaan yang ia ajukan. Entah karena malu atau malas menjawab. Sesaat kemudian ponsel Jihan bordering, ia melihat sebentar kea rah layar ponsel. Setelah mengetahui sang penelpon, cepat-cepat ia mengatur suara.
"Assalamualaikum mas Fadlan. Ada apa?"
Aku tak sengaja menjatuhkan sendok yang berisi kuah bakso tepat di atas pangkuanku sendiri. Aku terlonjak kaget, pergerakanku membuat mangkok bakso dimeja mencium lantai. Kuahnya berserakan kemana-mana. Jihan langsung melepaskan ponselnya ketika melihat apa yang telah terjadi padaku.
"Najwa, kamu nggak papah kan?" Jihan menghampiriku dengan wajah khawatir. Aku menggeleng sebegai pertanda tidak apa-apa. "Tidak apa-apa Jihan. Cuman kena sedikit doang kok."
Jihan menghela nafas sambil memegang jantungnya. Aku melihat ke sekitar, semua orang memusatkan perhatian kepada kami. Aku melihat ke arah Jihan yang sibuk membersihkan pecahan mangkuk di lantai.
"Aku bantu."
"Tidak usah Naj, kamu sekarang lagi terluka. Biar aku saja."
"Tapi-"
"Sudahlah Najwa, jangan membantah. Aku dokter dan sekarang kamu pasienku."
Jika Jihan sudah mengatakan bahwa ia dokter dan aku pasiennya, maka tak ada lagi penolakan. Aku hanya bisa terdiam ditempat sambil menekan pahaku yang mulai terasa perih. Aku melihat Jihan dengan hati pilu. Bagaimana mungkin aku mengkhianati sahabatku itu? Jihan terlalu baik untuk kusakiti hanya karena perasaan sepihakku kepada calon suaminya.
Maaf Jihan
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Mahram Untuk Najwa (END)
Spiritual(MUN 1) Fadlan dan Najwa yang sempat berpacaran saat masih duduk di bangku SMA dipertemukan kembali setelah waktu membawa mereka sangat jauh. Najwa yang telah hijrah dan mengenakan cadar membuat Fadlan tidak mengetahui kehadirannya saat mereka perta...