"Apa mas Fadlan masih mencintaiku?"
__Malaika Farida Najwa __
_ _ _
Cincin putih berhiaskan berlian yang terpasang di jari manisku terlihat indah. Kilauan muncul ketika cahaya matahari menyentuhnya. Warnanya terlihat sangat kontras dengan sarung tangan hitam yang kukenakan. Tapi tetap saja, cincin itu terlihat sangat cantik.
Cincin itulah yang menjadi bukti bahwa aku sudah memiliki mahram. Seseorang yang berada pada urutan pertama dalam doa yang senantiasa kupanjatkan. Dia adalah sosok yang kelak kuharapkan dapat menerimaku disisinya. Walaupun harapan itu masih semu. Tak ada yang tahu pasti kapan dia akan berpihak kepadaku. Hanya Allah SWT yang maha mengetahui segala sesuatu di muka bumi. Termasuk rahasia kisah selanjutnya dari hubunganku dan mas Fadlan.
Aku menghela nafas. Ingatan tentang kejadian tadi pagi mencuat kala aku melihat cincin pernikahan itu. Satu persatu adegan pertemuanku dan mas Faiz seperti roda film yang tak ada ujungnya. Kata demi kata yang ia ucapkan seperti meninggalkan bekas pertanyaan besar di dalam hati. Aku butuh jawaban. Termasuk jawaban tentang kenapa mas Faiz bisa tahu tentang pernikahanku? Apa dia memang sadar ketika melihat cincin dijariku? Atau ada seseorang yang memberitahunya? Entahlah akupun tidak tahu pasti jawaban yang benar.
Aku terlalu takut untuk menerima kenyataan bahwa sekarang mas Faiz sudah tahu kebenarannya. Rasa takut ini semakin menjadi-jadi jika suatu saat nanti mas Faiz mungkin juga mengetahui alasanku memutuskan untuk menolak lamarannya.
Ah semuanya semakin pelik. Lebih baik aku istirahat saja. Kepalaku rasanya ingin pecah ketika rentetan masalah dstang bertubi-tubi.
Aku lantas membuka cincin putih itu dan meletakkannya di atas meja. Begitupula dengan sarung tangan dan cadar yang kukenakan. Setelahnya aku berbaring di atas kasur. Rasanya sangat nyaman. Aku mengucap doa sebelum kesunyian perlahan membawaku ke alam mimpi. Entah berapa lama aku tertidur hingga akhirnya kesadaranku kembali karena mendengar lantunan ayat suci AL-Qur'an. Aku bertanya-tanya siapakah orang yang tengah membaca kalimatullah dengan suara semerdu itu? Masyaallah suaranya benar-benar menyejukkan hati. Aku seperti hanyut dalam setiap firman Allah yang ia lantunkan. Seolah aku seperti mendengar qori dan qoriah profesional.
Rasa penasaran membuatku akhirnya memilih untuk mencari tahu. Kupasang cadar dan keluar kamar. Suasana yang kurasakan hanya sepi, sunyi dan gelap. Mbok Asrih memang selalu mematikan semua lampu terlebih dahulu sebelum masuk ke kamarnya. Hanya lampu depan yang menjadi penerang dalam kegelapan ini.
Aku melirik ke arah jam di dinding. Sekarang sudah pukul dua belas malam. Aku seharusnya sudah mengambil wudhu dan segera melaksanakan shalat sepertiga malam. Namun suara lantunan Al-Qur'an itu mengalihkan perhatianku. Apa mas Fadlan yang sedang mengaji?
Sedikit cahaya dari arah anak tangga membuatku tergerak untuk melangkah mendekat. Apalagi ketika aku mendengar suara itu berasal dari sana. Tepatnya dari lantai dua. Aku bisa melihat dari bawah pintu kamar mas Fadlan tak tertutup rapat. Ada sedikit celah yang menyembulkan cahaya lampu. Aku memberanikan diri untuk melangkahi anak tangga satu persatu. Selama ini aku tak pernah naik ke lantai dua. Mas Fadlan memintaku untuk tidak mendekat ke ruangan itu apalagi sampai masuk ke dalam. Mungkin dia tidak mau aku mengganggu pekerjaannya.
Aku memposisikan diri diantara celah pintu untuk melihat apa yang tengah terjadi di dalam. Aku meneliti satu persatu bagian di dalam kamar. Ada ranjang berukuran sedang, meja kerja, tumpukan buku dan seseorang yang tengah duduk di atas sajadah. Di depannya ada kitab suci Al-Qur'an.
Dia sudah jelas mas Fadlan. Saat ini mas Fadlan memakai baju koko berwarna putih gading dengan sarung hitam bercorak batik khas Lombok. Tak lupa pula dengan peci hitam yang semakin membuatnya terlihat tampan.
Masyaallah mas Fadlan memang memiliki aura yang mampu membuat wanita manapun terpikat olehnya. Apalagi dengan suara semerdu itu. Aku tidak tahu dia bisa melantunkan kalimatullah dengan suara yang membuat siapapun terpana. Termasuk aku.
Pandanganku teralihkan pada sebuah foto diatas meja kecil di samping mas Fadlan. Foto itu memang tidak terlihat dengan jelas namun ciri-cirinya seperti mengingatkanku pada kenangan sepuluh tahun yang lalu. Foto itu seperti salah satu bukti bahwa aku dan mas Fadlan pernah bertemu sebelumnya. Itu seperti foto Alan dan Aika.
Kenapa foto itu ada disana?
Aku menjauhkan diri dari pintu. Rasa terkejut dengan apa yang baru saja kutemukan membuatku tak bisa berfikir dengan baik. Aku tidak percaya dengan yang baru saja kulihat. Aku harus memastikan apa foto itu memang benar adalah fotoku dan mas Fadlan sepuluh tahun yang lalu? Atau itu hanya halusinasiku saja?
Aku akan memastikannya sendiri
_ _ _
Suara mobil terdengar semakin jauh. Mas Fadlan mungkin sudah berangkat ke kantor. Ini adalah waktu yang pas untukku mencari tahu kebenaran foto yang kulihat tadi malam.
"Mas Fadlan udah pergi mbok?"
Mbok Asrih yang tengah sibuk di dapur menoleh ke arahku.
"Injih non, baru saja tadi tuan pergi."
Aku menghela nafas. Semuanya sudah aman. Mas Fadlan memang sudah berangkat ke kantor.
Kuberanikan diri untuk naik ke lantai dua. Alhamdulillah pintu kamar tidak terkunci. Setelah masuk ke dalam kamar, aku langsung mencari keberadaan foto yang kulihat tadi malam. Aku tidak menemukan apapun di atas meja. Mas Fadlan pasti sudah meletakkannya di tempat lain.
Aku mencari keberadaan foto itu disemua celah dalam kamar ini. Mulai dari lemari pakaian, meja kerja, di bawah ranjang, ditumpukan buku dan tempat-tempat lain yang berpotensi untuk menyembunyikan benda persegi empat itu. Namun aku tak kunjung juga mendapatkannya.
"Aku harus berfikir dimana mas Fadlan menyimpan foto itu. Tapi dimana?"
Aku memijit kening. Kepalaku terasa sangat berat untuk berfikir dimana sebenarnya foto itu berada. Apa foto itu memang tidak ada?
"Tas."
Benda itu muncul di kepalaku ketika mengingat Alan selalu meletakkan barang-barang yang ia anggap penting ke dalam tas. Alasannya agar mudah untuk dibawa dalam keadaan mendesak. Alan pernah mengatakan itu ketika dulu aku berkunjung ke rumahnya. Kala itu ia menyimpan semua barang pemberianku di dalam tas. Mungkin saja kebiasaan itu ia bawa sampai sekarang.
Aku melihat ke sekitar ruangan ini. Alan biasanya menyimpan tas di---atas lemari pakaian. Yap, benda itu memang ada disana. Aku lantas mengambil tas berwarna hitam itu lalu membukanya. Aku terdiam beberapa saat. Pemandangan di depanku membuat seolah udara di sekitarku lenyap. Aku kesulitan bernafas. Bagaimana mungkin mas Fadlan masih menyimpan semua benda itu? Semua barang pemberianku sepuluh tahun yang lalu. Mulai dari surat, gantungan kunci, boneka dan bahkan ia menyimpan foto-foto kebersamaan kami dulu. Termasuk foto yang setengah bagiannya sudah terbakar akibat ulahku sendiri. Aku tidak percaya mas Fadlan masih menyimpan semuanya. Jika memang iya apakah dia juga--- masih mencintaiku?
Apa maksud semua ini ya Rabb?
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Mahram Untuk Najwa (END)
Espiritual(MUN 1) Fadlan dan Najwa yang sempat berpacaran saat masih duduk di bangku SMA dipertemukan kembali setelah waktu membawa mereka sangat jauh. Najwa yang telah hijrah dan mengenakan cadar membuat Fadlan tidak mengetahui kehadirannya saat mereka perta...