"Pernikahan ini bukan karena cinta. Maaf jika aku tak bisa menjadi Imam yang baik"
__Muhammad Fadlan Al Ghifari__
Adzan subuh sebentar lagi berkumandang. Kusingkap selimut lalu meraih kerudung. Setelahnya aku mengambil wudhu. Samar-samar aku mendengar seseorang menutu pintu. Itu mas Fadlan. Cepat-cepat aku memakai cadar lalu membuka pintu kamar. Mas Fadlan terlihat kaget dengan kehadiranku yang tiba-tiba. Aku meneliti penampilan mas Fadlan yang nampak rapi. Baju koko putih dengan sarung hitam dan sajadah yang ia sampirkan dipundak. Tak lupa pula dengan peci hitam yang bertengger di kepalanya. Masyaallah dia terlihat sangat tampan.
"Mas mau ke masjid."
Hanya itu yang mas Fadlan katakan. Setelahnya ia berlalu pergi. Aku menghela nafas. Apa mas Fadlan akan selalu bersikap seperti itu padaku?
Aku masuk kembali ke dalam kamar. Kugelar sajadah dan mengenakan mukena. Sebelum shalat subuh, aku terbiasa melaksanakan salat sunah qobliyah. Shalat sunah dua rakaat yang dulu hampir tidak pernah Rasulullah SAW tinggalkan. Kata umi Bushra, amalan sunah itu memiliki pahala yang tak kalah dengan amalan wajib. Oleh karena itu, aku selalu mengusahakan diri untuk melaksnakan shalat sunah sebelum shalat wajib. Ketika shalat sunah dan subuh telah kutuntaskan. Aku mengangkat tangan seraya memohon doa kepada Allah SWT.
Aku berdoa semoga hari ini lebih baik dari hari kemarin. Aku berdoa semoga pernikahanku selalu dirahmati Allah SWT. Amin amin ya rabbal alamin.
_ _ _
Pagi-pagi sekali mas Fadlan memintaku untuk bersiap-siap pergi ke rumahnya. Aku bahkan harus menghentikan aktivitas memasak bersama umi ketika mas Fadlan mengatakan untuk melakukan persiapan secepat mungkin. Katanya ada banyak pekerjaan yang harus ia selesaikan. Aku menurut saja. Jika suami sudah meminta istri untuk melakukan sesuatu maka istri wajib untuk mengikutinya.
"Mas tidak mau sarapan dulu sebelum kita berangkat?" Aku bertanya kepada mas Fadlan yang tengah sibuk mengosongkan ruang kerjanya. Aku sebenarnya ingin membantu tapi dia bilang tidak usah. Takut jika aku salah menempatkan file-file penting.
"Kita sarapan sebentar."
Aku tersenyum, setidaknya mas Fadlan harus mengisi perutnya sebelum kita berangkat. Aku yakin dia tidak akan punya waktu untuk sarapan ketika sudah sampai di rumahnya nanti. Aku lantas kembali ke dapur untuk membantu umi, barang-barangku tidak terlalu banyak jadi aku tidak perlu waktu lama untuk bersiap-siap.
"Kamu nggak bantuin Fadlan beres-beres?" Umi mengambil piring dari tanganku.
"Mas Fadlan tidak mau dibantu mi. Dia takut aku salah taruh file penting."
Umi tersenyum padaku. Tangannya menyentuh pundakku dengan lembut.
"Fadlan emang kayak gitu kalo masalah pekerjaan. Suka lupa kalo dia juga butuh bantuan orang lain. Lihat saja, dia pasti lagi kewalahan sekarang."
Umi seolah memintaku untuk mengecek kembali apakah mas Fadlan benar-benar bisa melakukan pekerjaannya sendiri atau tidak.
"Najwa bantu umi saja buat sarapan."
"Nggak usah. Umi udah terbiasa buat sarapan sendiri. Yang makan juga nggak banyak kok. Palingan nanti Fadlan makannya satu sendok aja."
Aku terkekeh mendengar umi menjadikan kebiasaan mas Fadlan sebagai lelucon. Sesuai himbauan umi, aku lantas berjalan kembali menuju ruang kerja mas Fadlan. Laki-laki itu nampak sibuk membereskan tumpukan kertas di meja kerjanya. Belum lagi dengan pakaian yang belum ia masukkan ke dalam koper. Ternyata umi benar. Mas Fadlan tidak bisa melakukan pekerjaannya seorang diri. Buktinya dia beberapa kali menghela nafas sambil memijit kening melihat ruang kerjanya berantakan. Aku berjalan masuk dan mengambil alih untuk membereskan pakaiannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mahram Untuk Najwa (END)
Spiritual(MUN 1) Fadlan dan Najwa yang sempat berpacaran saat masih duduk di bangku SMA dipertemukan kembali setelah waktu membawa mereka sangat jauh. Najwa yang telah hijrah dan mengenakan cadar membuat Fadlan tidak mengetahui kehadirannya saat mereka perta...