"Kisah kita terlalu lama berporos pada kesedihan dan tangis. Sudah saatnya kita mengganti arus. Mari kita bahagia mas. Kamu dengan kebahagiaanmu dan aku dengan kebahagiaanku."_Malaika Farida Najwa_
_ _ _
Benda berwarna putih yang dililitkan pada luka ditanganku itu terlihat memburam. Aku menggeleng beberapa kali. Kepalaku terasa pusing. Semua yang kulihat terlihat buram dan tidak jelas. Mungkin karena aku yang terlalu banyak menangis. Mungkin juga karena darah yang terlalu banyak keluar dari tanganku. Beruntung mbok Asrih segera mengutupinya dengan perban.
"Makasih mbok," ucapku kala mbok Asrih memberesken obat dan memasukkannya ke dalam kotak P3K.
"Njih non. Semoga luka non cepet sembuh."
Aku tidak terlalu perduli dengan luka kecil ditanganku. Luka yang kuterohkan untuk mas Fadlan lebih serius daripada ini. Luka yang kubuat pada hati dan kepercayaannya. Luka yang sekarang tengah menganga lebar. Entah kapan ia akan mengatakan benci terhadapku. Hanya tinggal menunggu waktu.
"Mbok keluar dulu ya non. Non istirahat saja dulu. Hujannya juga belum berhenti. Nanti kalau pak Karne datang, saya pasti memberitahu non." Mbok Asrih menatapku. Ia terlihat sangat khawatir ketika melihat kondisiku tadi. Saat setelah laki-laki itu pergi.
"Iya mbok. Makasih."
"Njih non. Sama-sama. Mbok keluar dulu."
Mbok Asrih akhirnya pergi. Tubuhnya menghilang dibalik pintu. Aku menghela nafas. Hari ini rasanya sangat berat. Banyak hal terjadi secara tiba-tiba. Pertemuanku dengan mas Fadlan seperti takdir yang belum usai. Kami ditakdirkan untuk bertemu kembali setelah perpisahan yang cukup lama. Dia datang untuk meminta jawaban atas rahasia yang selama ini kupendam. Rahasia yang tak seharusnya kututupi. Rahasia yang mungkin membuat laki-laki itu tak mau melihatku lagi.
Wajah damai Azam yang masih tertidur lelap disampingku membuat perasaanku sedikit membaik. Aku mendekat ke arahnya. Azam dan mas Fadlan memiliki banyak kemiripan. Mulai dari mata, hidung, bibir, rambut dan bentuk wajah mirip dengan mas Fadlan. Aku merasa bersalah kepada puteraku. Aku sudah memisahkan Azam dengan ayahnya. Jika sejak awal aku jujur, Azam pasti akan mendapatkan kasih sayang ayahnya.
"Maafkan umi sayang." Aku membelai puncak kepala Azam dengan sayang. Azam adalah duniaku. Aku tidak ingin melihatnya bersedih. Aku tidak ingin Azam sedih karena tak memiliki ayah seperti anak-anak kebanyakan. Cukup aku yang hanya merasakan kasih sayang abiku sampai berusia tujuh belas tahun. Aku ingin Azam merasakan kasih sayang kedua orangtuanya hingga nanti maut yang memisahkan kami.
Aku meraih amplop di atas nakas. Aku masih belum membuka amplop itu. Aku terlalu takut ketika mendapati sesuatu yang tak kuharapkan. Surat yang mas Fadlan tulis untukku terakhir kali justru adalah surat gugatan cerai. Aku tidak tahu sekarang surat apa yang ia tulis. Aku takut kali ini suratnya berisi kata perpisahan. Aku dan mas Fadlan mungkin akan berpisah. Aku akan menikah dengan mas Faiz dan mas Fadlan akan hidup bahagia bersama istri dan anaknya. Aku bahagia dengan kebahagiaannya. Aku bersyukur mas Fadlan sudah membina keluarga. Setidaknya aku akan lega jika memutuskan untuk pergi dari hidupnya. Mas Fadlan sudah bahagia.
"Semoga kebahagiaan selalu menyertaimu mas," harapku. Aku menatap amplop putih yang beberapa sisinya berwarna merah. Merah karena darahku sendiri.
Aku menarik nafas dalam-dalam. Aku harus melihat isi dari amplop itu. Sebuah surat yang ia tulis untukku. Walaupun sebenarnya aku masih enggan untuk sekedar menyentuhnya. Takut yang kurasakan semakin menyelinap dalam jiwa. Naumun aku tidak punya pilihan lain. Aku harus membukanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mahram Untuk Najwa (END)
Spiritual(MUN 1) Fadlan dan Najwa yang sempat berpacaran saat masih duduk di bangku SMA dipertemukan kembali setelah waktu membawa mereka sangat jauh. Najwa yang telah hijrah dan mengenakan cadar membuat Fadlan tidak mengetahui kehadirannya saat mereka perta...