"Sahabat itu berharga. Aku akan merasa sangat sedih jika kehilangannya"
__Malaika Farida Najwa__
_ _ _
Senja sore menjadi latar dalam pertemuan kami. Beberapa menit yang lalu mas Faiz datang ke rumah. Dia sudah pasti datang untuk meminta jawaban. Aku sudah siap dengan apapun resiko yang kudapati nanti. Lagipula disini akulah yang salah. Seharusnya aku memilih mas Faiz, bukan mas Fadlan. Jawaban terima seharusnya kuberikan untuk mas Faiz. Tapi mau bagaimana lagi, aku sudah terlanjur memberikan jawaban terima atas pernikahanku dengan mas Fadlan.
"Apa kamu sudah punya jawabannya?"
Mas Faiz menatapku lekat. Sorot matanya menampakkan penantian. Aku meremas ujung jilbab. Situasi ini benar-benar sangat sulit untuk kulalui.
"A—a---aku," kuberikan sedikit jeda untuk menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan, "maaf mas. Aku tidak bisa."
Mas Faiz mengubah raut wajahnya. Ia menghela nafas. "Apa alasannya?"
Aku sudah mempersiapkan jawaban untuk pertanyaan ini semenjak pulang dari rumah Jihan. Bagaimanapun aku tidak boleh berdusta. Aku harus mengatakan alasan sebenarnya kepada mas Faiz."Aku memiliki perasaan kepada orang lain."
Suasana hening, wajah mas Faiz langsung berubah ketika kukatakan kalimat itu. Kata maaf berulang kali kugaungkan dalam hati. Aku sebenarnya tak ingin mengatakan ini tapi takdir menuntutku untuk melakukannya.
Maaf mas, maaf
"Mas tidak ingin memaksa. Semoga kamu dan dia berjodoh." Mas Faiz mengatakan hal itu dengan suara rendah. Selama aku mengenalnya, tak pernah mas Faiz berbicara dengan nada seperti itu. Aku merasakan sesak di dada. Sangat sesak hingga aku kesulitan bernafas.
"Maaf mas."
"Jangan meminta maaf. Kamu tidak salah, ini memang sudah takdir dari Allah."
Kata-kata itu seperti menghantam ulu hatiku. Rasanya sangat sakit ketika mengetahui mas Faiz tetap bersikap baik-baik saja ketika aku membuatnya jatuh berkali-kali. Siapapun wanita yang nanti berjodoh dengannya sudah pasti sangat beruntung."Mas pergi dulu. Ada pekerjaan yang harus mas kerjakan. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Aku menatap kepergian mas Faiz dengan mata berkaca-kaca. Apa aku terlalu jahat? Bagaimana mungkin aku menyakiti hati sebaik itu? Ya Allah maafkan hambamu ini.
"Najwa."
Aku menghapus air mata dengan cepat. Samar-samar kulihat seseorang datang. Suasana yang cukup gelap membuatku tak bisa melihat dengan jelas siapa orang dibalik kegelapan itu.
Zahra?
Dia Zahra. Beberapa hari ini wanita itu sibuk dengan pekerjaannya. Aku bahkan tak pernah bertemu dengannya semenjak pertemuan kami terakhir kali di restoran. Apa alasannya datang jam segini? Bukankah seharusnya Zahra masih di kantor?
"Jelasin alasan kamu sebenarnya menolak lamaran mas Faiz?" Zahra menatapku serius.
"A—aku tidak-"
"Jangan bilang kamu menolak lamaran mas Faiz karena akan menikah dengan mas Fadlan?"
Aku membulatkan mata. Bagaimana Zahra bisa tahu?
"Da—darimana kamu tahu?"
"Aku nggak nyangka kamu bisa semunafik ini Naj. Aku kira kamu bisa menghilangkan perasaanmu kepada mas Fadlan. Aku kira kamu sudah melupakan kisah kalian dimasa lalu."
Aku juga ingin melupakan mas Fadlan, aku ingin menghilangkan kenangan kami dulu. Aku bahkan sudah mencoba untuk melakukannya, tapi ketika aku sudah mulai berhasil Jihan justru datang dan membuat rencana yang telah kususun hancur. Aku terpaksa.
"Kamu salah faham Ra, aku sama sekali tidak mendukung pernikahan ini."
"Tapi kamu setuju Najwa. Kamu bahkan dengan teganya menolak lamaran orang yang benar-benar sayang sama kamu. Aku mau yang terbaik buat kamu Naj. Aku nggak mau kamu tersakiti. Aku nggak mau mas Fadlan membuatmu menangis ketika kalian sudah menikah."
Zahra menutup wajahnya dengan kedua tangan. Aku dapat mendengar suara tangisnya. Kenapa semuanya semakin rumit?
"Aku tidak akan menangis Ra. Aku janji."
Aku harap
"Kenapa kamu menerimanya? Kenapa kamu menerima pernikahan ini? Dan kenapa Jihan mau melepaskan mas Fadlan? Tolong jelaskan padaku Najwa."
Aku menutup mata, pertanyaan itu bagai kilatan petir ditengah awan. Mengerikan. Aku tidak tahu apakah aku harus mengatakan yang sebenarnya atau tidak. Aku terlalu takut untuk memberitahu Zahra kebenaran yang sebenarnya. Aku takut Zahra membenci Jihan. Aku takut Zahra menyalahkan Jihan atas semua yang terjadi. Aku tidak mau menciptakan jarak diantara mereka.
"Karena aku mencintai mas Fadlan. Aku mencintai dia hingga aku kehabisan akal. Aku mengatakan kepada Jihan bahwa aku mencintai calon suaminya. Aku—"
Plak
Aku merasakan panas di pipi. Zahra baru saja menamparku. Selama kami berteman, Zahra sama sekali tak pernah melakukan hal ini. Dan hari ini dia melakukannya.
"Najwa yang kukenal tak akan pernah melakukan hal seburuk itu. Apa kamu gila Najwa! Pilihan kamu untuk menikah dengan mas Fadlan bukan hanya menyakiti satu pihak tapi banyak orang yang akan tersakiti. Dan sekarang aku menjadi salah satu diantara orang yang merasa tersakiti itu, hari ini sahabatku Najwa sudah pergi. Tidak ada lagi Najwa yang menjadi sahabatku sejak SMA. Najwa yang kukenal sudah hilang."
Setelah mengatakan itu, Zahra pergi. Dia pergi tanpa mengucap salam atau pamit. Aku mencoba menguatkan hati dengan berulang kali mengucap istighfar. Aku harus bersabar. Pernikahan ini tidak akan lama. Aku akan segera berpisah dengan mas Fadlan. Dan setelah kami berpisah nanti semua akan kembali seperti biasa. Insyaallah.
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Mahram Untuk Najwa (END)
Duchowe(MUN 1) Fadlan dan Najwa yang sempat berpacaran saat masih duduk di bangku SMA dipertemukan kembali setelah waktu membawa mereka sangat jauh. Najwa yang telah hijrah dan mengenakan cadar membuat Fadlan tidak mengetahui kehadirannya saat mereka perta...