"Cinta itu bukan hanya soal rasa tapi juga keputusan."
__Malaika Farida Najwa__
Setelah kejadian di mushala, aku jadi canggung untuk bertatap muka dengan umi. Dia juga sepertinya merasakan hal yang sama, terbukti dengan umi yang tidak terlalu aktif menanggapi obrolan bersama Jihan lagi. Ketika Jihan tengah sibuk menjawab panggilan dari rekan kerjanya, umi pun akhirnya mengajakku berbicara.
"Aika?" Umi kembali memanggilku dengan nama yang sama. Nama yang dulu sering ia sebut untuk memanggilku. Aku memberanikan diri untuk menatap tepat ke arah umi. Ketika pandangan kami saling bertemu, umi langsung menutup mulutnya.
"Kamu benar Aika?" Umi lagi-lagi menanyakan hal yang sama. Aku tidak berani untuk menjawab.
"Kamu Aika bukan? Gadis cantik yang kutemui sepuluh tahun yang lalu?"
Umi terus saja menohokku dengan pertanyaan-pertanyaan yang sama. Jika aku menggeleng, umi pasti tidak akan percaya. Lagipula pertanyaannya sudah benar. Aku adalah Aika."Tolong jangan beritahu siapapaun tentang ini umi, termasuk mas Fadlan." Aku akhirnya membenarkan jati diriku. Umi langsung menangis. Aku pindah posisi untuk duduk di sampingnya. Umi langsung memelukku dengan erat. Ia mengucap Alhamdulillah dan Masyaallah berulang kali. Aku benar-benar tak menduga umi akan bereaksi seperti ini.
"Umi kira umi tidak akan melihatmu lagi nak."
Aku semakin mengeratkan pelukanku. Kuucap kalimat istighfar untuk menenangkan umi.
"Umi kira kamu juga korban kecelakaan pesawat. Umi kira kamu sudah pergi bersama kedua orangtuamu."
Aku terdiam ketika mendengar kalimat yang umi katakan. Darimana umi tahu tentang kecelakaan pesawat yang menimpa orangtuaku?
"Umi-"
"Sekarang kita harus beritahu Fadlan, dia sudah lama menunggumu nak."
Umi hendak mengajakku berdiri namun dengan cepat aku menghentikannya. Ini tidak benar, mas Fadlan tidak boleh tahu tentang diriku yang sebenarnya.
"Tidak umi, kita tidak akan memberitahu siapapun apalagi mas Fadlan."
Umi menatapku dengan matanya yang berair. Seolah ada tanda tanya besar dari sorotan matanya.
"Kenapa? Fadlan sudah menunggumu sejak lama. Di ba-"
"Tidak umi, demi Allah tolong jangan beritahu mas Fadlan. Biarkan ini terjadi hanya diantara kita. Cukup umi dan Aika."
Aku melihat umi nampak tidak senang dengan permintaanku, aku bahkan harus berkali-kali menyebut nama sang maha agung Allah untuk meyakinkan hatinya."Tolong umi, ini demi kehidupan mas Fadlan. Dia berhak untuk menempuh kehidupan baru dengan orang lain."
Itulah kalimat terakhir yang kuucapkan untuk meyakinkan umi. Alhamdulillah akhirnya umi luluh juga. Dia tidak akan memberitahu siapapun tentang identitasku. Aku sangat bersyukur dengan hal itu. Beberapa menit kemudian Jihan datang. Dia terlihat sangat gelisah. Aku berdoa dalam hati, semoga Jihan tidak melihat dan mendengar apapun yang aku bicarakan dengan umi.Semoga
_ _ _
Lampu jalan berkedip-kedip mengiringi langkahku. Bulan bersinar terang menyinari perjalananku. Hiruk pikuk kendaraan di kala petang menjadi lagu abadi yang terus berputar. Tak memiliki batas dan akhir. Suara-suara itu bagai ritme abadi yang setiap hari kudengar di kota metropolitan. Langkahku terhenti ketika sudah sampai di depan rumah, salah seorang yang tengah menunggu jawabanku sedang duduk di teras rumah. Dia mas Faiz.
Aku memutar otak untuk bisa menghindari situasi canggung yang sebentar lagi akan tercipta. Jujur saja, aku tak tahu harus memberikan jawaban apa atas lamaran yang mas Faiz ajukan. Apalagi dengan adanya insiden di rumah umi Asma beberapa waktu yang lalu. Aku rasanya tak berani untuk melangkah sendiri. Aku takut. Takut jika langkah yang kupilih adalah sebuah kesalahan.
"Najwa." Mas Faiz akhirnya mengetahui keberadaanku. Ia dengan cepat menghampiriku.
"Kamu baru pulang dari panti?" Mas Faiz bertanya. Aku mengangguk kecil.
"Mas Faiz kapan pulangnya?"
"Tadi."
"Hah?"
"Iya tadi. Mas langsung kesini setelah sampai di bandara."
Aku menelan ludah, mas Faiz pasti akan menagih jawaban. Lagipula jika bukan karena itu, untuk apa mas Faiz langsung datang kerumahku malam-malam begini?
"Najwa."
"Iya mas."
"Mas ingin bertanya. Kamu sudah punya jawaban?"
Aku terdiam, bibirku seolah mati rasa. Otakku seperti buntu dan tak bisa difungsikan. Aku benar-benar tidak tahu harus memberikan jawaban apa untuk lamaran mas Faiz. Iya atau tidak?
"Najwa." Mas Faiz kembali memanggil namaku.
"Maaf mas. Aku masih belum mendapatkan jawaban atas pertanyaanmu."
Aku dapat melihat ekspresi kecewa dari raut wajah laki-laki itu. Entah kenapa aku merasa sangat bersalah. Seharusnya aku sudah mendapat jawaban atas lamaran dari mas Faiz setelah diberikan kesempatan waktu dua bulan untuk berfikir. Tapi nyatanya aku sama sekali tak menemukan titik terang.
"Kapan kamu bisa menjawab pertanyaan mas?"
"Seminggu lagi. Aku janji akan memberikan jawabannya seminggu lagi." Aku berusaha meyakinkan mas Faiz untuk menunggu seminggu lagi. Aku sebenranya tidak tahu apakah seminggu kedepan aku bisa mendapatkan jawaban. Tapi setidaknya aku harus memberikan kepastian kepada mas Faiz. Aku tidak ingin membuatnya berlarut-larut dalam sesuatu yang belum pasti.
"Mas akan menunggu." Jawaban mas Faiz singkat namun berhasil menggetarkan relung hatiku. Rasa sedih, marah, kecewa dan takut seolah menyatu dalam satu kesatuan yang sama. Aku takut kehilangan mas Faiz ketika menjawab tidak dan aku takut membenci diriku sendiri ketika kumenjawab iya. Aku benar-benar bimbang.
Apa jawaban yang harus kuberikan?
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Mahram Untuk Najwa (END)
Spiritual(MUN 1) Fadlan dan Najwa yang sempat berpacaran saat masih duduk di bangku SMA dipertemukan kembali setelah waktu membawa mereka sangat jauh. Najwa yang telah hijrah dan mengenakan cadar membuat Fadlan tidak mengetahui kehadirannya saat mereka perta...