PART 21 ~Berdamai Dengan Takdir~

106K 6.9K 30
                                    

“Hatiku sudah terlanjur menyimpan luka. Luka itu terlalu sulit untuk berdamai dengan takdir.”


__Malaika Farida Najwa __

_ _ _

Seorang istri pasti akan selalu senang jika suaminya memberikan perlakuan istimewa. Baik itu dalam bersikap maupun berbicara. Rasulullah SAW bahkan selalu mengistimewakan istri-istrinya. Sikap romantic selalu ditunjukkan rasulullah kepada para permaisurinya. Contohnya ketika rasulullah SAW memanggil istrinya Aisyah dengan panggilan Ya Humaira yang artinya wahai si merah jambu. Bukankah hal itu membuat wanita manapun di Dunia ini merasa iri? Jika manusia semulia rasulullah memperlakukan istrinya seindah itu maka bagaimana dengan manusia biasa?

Aku tidak tahu apakah semua suami di muka bumi ini memperlakukan istrinya seperti rasulullah. Suamiku sendiri bahkan tidak pernah menatapku seolah aku adalah istrinya. Harapanku untuk diperlakukan lebih apalagi seperti rasulullah memperlakukan istrinya seperti sudah pupus sejak awal. Semua harapan dan keinginanku seperti hilang terbawa angin kebencian. Namun hari ini aku mendapati sesuatu yang berbeda. Suamiku tiba-tiba saja berubah menjadi sedikit romantis di depan laki-laki yang dulu pernah melamarku.

Mas Fadlan mungkin hanya mau melindungi nama baiknya

Rasa ketidakpercayaanku membuat pernyataan seperti itu muncul. Deretan pertanyaan berjajar rapi di pikiranku. Apa? Kenapa? Bagaimana? Semua jenis pertanyaan meluncur ketika mas Fadlan mengatakan bahwa dia adalah menantu umi bushra dan aku adalah istrinya. Ucapan itu mungkin terdengar biasa-biasa saja. Namun di telingaku ucapannya itu seperti bunga yang bermekaran di taman, fajar yang terbit dari timur dan senja yang menghilang dari kegelapan malam. Semua kejadian itu indah. Begitupula dengan perasaanku. Namun kehadiran seseorang membuat perasaan ini perlahan memudar. Kedatangan mas Faiz membuatku bingung sekaligus khawatir.

“Bagaimana keadaan umi?” Mas Faiz bertanya padaku. Dia dan mas Fadlan memang kuminta untuk menunggu diluar kamar pasien.

Aku melirik ke arah mas Fadlan. Laki-laki itu sepertinya tidak perduli dengan interaksiku bersama dengan mas Faiz.

“Alhamdulillah sudah membaik mas.”

“Umi beneran kena demam berdarah?”

“Iya mas.”

Aku kembali melirik ke arah mas Fadlan. Laki-laki itu terlihat sibuk dengan panggilan di ponselnya. Apa dia memang benar-benar tidak perduli dengan kedekatanku bersama mas Faiz. Jika boleh jujur, aku berharap dia cemburu.

Apa aku salah berharap dia akan cemburu?

Aku memilih untuk duduk di kursi yang berjarak beberapa meter dari mas Fadlan. Aku menghela nafas ketika mas Faiz juga ikut duduk. Jaraknya denganku bahkan cukup dekat. Apa yag dipikirkan olehnya sehingga bersikap seperti ini? Aku sekarang adalah wanita yang bersuami. Mas Faiz seharusnya menyadari hal itu. Dia tidak seharusnya berada disini.

“Permisi mbak, mas. Ini dengan keluarga pasien atas nama Aisha Bushra?” Salah seorang suster bertanya kepadaku.

“Iya dok, saya anaknya.”

“Mohon segera mengurus administrasi pasien ya mbak.”

“Biar saya saja yang urus,” mas Faiz menyahut. Aku menautkan alis. Untuk apa dia melakukannya.

“Kalau begitu saya permisi dulu.”

Setelah suster itu pergi, akupun mengajak mas Faiz untuk berbicara. Aku harus meluruskan segalanya. Termasuk tentang keberadaan mas Faiz disekitar keluargaku.

Mahram Untuk Najwa (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang