PART 14 ~Perjanjian Pernikahan~

109K 7K 148
                                    

“Apa salah seorang istri mencintai suaminya?”


__Malaika Farida Najwa __

_ _ _

Bayangan seseorang di depan cermin mengingatkanku kembali pada gadis sepuluh tahun yang lalu. Gadis menyedihkan yang harus merasakan sakitnya patah hati. Gadis bodoh yang mau menjalin kasih dan menumpuk dosa zina setiap harinya. Gadis yang kini sudah berganti nama namun identitasnya tetap sama. Dia masih menjadi seseorang yang menyedihkan. Jika dulu kesedihannya adalah tentang kekasih maka sekarang kesedihannya adalah tentang  suami. Dua identitas berbeda yang bersatu pada sosok yang sama. Kisahku dan mas Fadlan seolah terulang kembali. Dia berhasil membawaku kembali pada lembah menakutkan paling dalam yang berhasil membuatku tak bisa lagi menatap cahaya terang. Mas Fadlan selalu berhasil membuatku terlihat seperti wanita paling buruk, baik itu dimatanya maupun dimataku sendiri.

Aku menghela nafas. Cadarku tak mampu membuatku terlihat baik-bak saja. Sorot mataku sudah cukup memberikan jawaban bagaimana wajahku bereaksi. Selama beberapa hari ini aku seolah hidup di dalam penjara. Semua yang kulakukan serba salah. Aku tak bisa keluar dan tak bisa juga berdiam diri.

Suara mesin mobil membuatku cepat-cepat keluar kamar. Kuambil kotak makan mas Fadlan. Seperti hari-hari biasa, hari ini aku membuatkannya sarapan. Mas Fadlan selalu menolak dengan kata-kata yang berhasil membuat hatiku perih. Aku tahu mas Fadlan masih belum menerima kehadiranku sebagai istrinya tapi bukan berarti aku melupakan kewajibanku sebagai seorang istri. Aku harus selalu melayani suamiku. Termasuk dalam mengawasi makanannya.

“Mas, sarapannya.” Aku membawa kotak makan ke arah jendela mobil mas Fadlan yang sudah ditutup. Aku harap dia menerimanya kali ini. Walau kemungkinan itu masih sangat kecil. Setidaknya aku sudah berikhtiar. Sisanya tergantung mas Fadlan sendiri.

Alhamdulillah

Kalimat syukur kuucapkan ketika jendela mobil mas Fadlan terbuka. Wajahnya masih memperlihatkan ekspresi yang sama seperti kemarin-kemarin. Seolah kehadiranku merusak suasana hatinya.
Aku tersenyum ketika mas Fadlan mengambil kotak makan yang kusodorkan. Mobilnya melaju pergi sebelum sempat kukatakan terima kasih. Senyumku langsung memudar ketika tiba-tiba saja mas Fadlan membuang kotak makannya ke dalam selokan. Apa dia sebegitu tidak menyukai pemberian dariku?

Aku mencoba untuk menguatkan hati. Kuhapus air mata yang perlahan keluar. Mobil mas Fadlan sudah pergi. Aku melangkahkan kaki menuju ke arah selokan dan mengambil lagi kotak makan yang mas Fadlan buang. Aku merasa sedih dengan makanan yang harus terbuang begitu saja. Semoga Allah membuka hati mas  Fadlan. Semoga Allah melapangkan hatinya untuk menerimaku apa adanya. Semoga.

_ _ _

“Mbak yakin nggak papah?” Yani menatapku khawatir. Semenjak datang ke toko aku memang lebih banyak melamun. Tidak seperti diriku yang biasanya. Sebenarnya kebiasaan buruk itu sudah menjadi bagian yang tak dapat terpisahkan dariku semenjak sikap mas Fadlan berubah. Aku selalu berpikir sebenarnya apa yang membuat mas Fadlan menjadi sosok yang berbeda. Apa dia hanya bersikap baik padaku di depan keluarganya saja? Atau sikapnya yang sekarang adalah pelampiasan dari amarahnya yang terpendam selama kami masih berada di rumah umi dan abi? Ah sepertinya aku tak akan pernah mendapat jawaban atas pertanyaan itu. Aku tak bisa hanya menebak tanpa kepastian yang jelas. Mungkin sebaiknya aku melupakannya.

“Mbak?”

“Mbak nggak kenapa-kenapa kok Yan. Mbak baik-baik aja.”

Mahram Untuk Najwa (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang