PART 52 ~Azzam~

96.4K 6.1K 591
                                    


"Aku hanya butuh penjelasanmu Najwa. Siapa dia?"

_Muhammad Fadlan Al Ghifari_

Fadlan

Mobil kami perlahan menepi. Tepat di depan sebuah taman di tengah kota. Aku menarik nafas dalam-dalam. Ini adalah saatnya untukku bertemu mereka. Aku harus siap dengan kemungkinan apapun yang terjadi nanti.

"Kamu beneran mau sendirian Lan?" Abram bertanya padaku.

"Tentu saja," jawabku singkat.

"Nggak mau ditemenin?" Rizma menyahut.

Aku terkekeh. "Kalo mereka liat aku bawa wanita hamil bisa parah."

"Iya juga sih," balas Rizma. Ia ikut terkekeh dengan ucapanku.

"Ya udah kita duluan ya," ucap Abram.

"Iya. Hati-hati. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Aku lantas keluar dari mobil. Suasana khas kota Jakarta langsung terasa. Macet dan ributnya suara kendaraan bersahutan dalam telingaku. Mobil Abram dan Rizma juga sudah pergi. Hanya aku yang berada disini. Di tempat yang sudah cukup lama tak kudatangi lagi.

Aku melangkah masuk ke dalam area taman. Suasana terasa berbeda ketika aku mulai memasuki tempat ini. Pepohonan dengan daun rindang menahan cahaya matahari agar tak sampai menyentuh tanah. Suasana ini membuatku cukup rileks. Setelah perjalanan cukup lama dari Arab Saudi menuju Jakarta, tubuhku rasanya ingin cepat-cepat berbaring di atas kasur. Namun ada hal yang harus kulakukan sebelum itu. Hal yang sangat penting dan tak boleh kulewatkan.

"Assalamualaikum u-"

Plak

Pipiku terasa panas. Umi baru saja menamparku. Tepat setelah aku sampai di depannya.

"Kamu pantas mendapatkannya." Umi menatapku dengan marah. Aku menerima sikapnya itu. Aku menerima amarahnya. Aku memang pantas mendapatkan kebencian dari umiku sendiri.

"Asslamualaikum umi." Aku mengulang kalimat salam yang tadi tak bisa kuucapkan sepenuhnya.

Umi tidak menjawab salamku. Ia duduk tanpa melihatku sama sekali. Aku bertanya. Kenapa hanya umi yang ada disini? Dimana abi? Bukankah mereka janji akan datang.

"Tidak perlu mengharapkan kedatangan abimu. Sudah beruntung umi mau datang," jelas umi. Raut wajahna masih memperlihatkan ketidaksukaan atas kehadiranku disini.

Aku memang sepantasnya tidak berharap terlalu banyak. Ayah mana yang mau melihat anak seperti aku? Anak yang sudah mencoret nama baik laki-laki di keluarga kami.

Aku berlutut di depan umi. Wanita itu masih tidak mau melihatku. Air matanya sudah turun sejak tadi. Aku memang anak yang durhaka. Dua wanita istimewa dalam hidupku sudah kubuat nangis ribuan kali.

"Maafkan Alan umi. Maafkan Alan." Aku berusaha meraih tangan wanita itu walaupun beberapa kali ia menjauh. Tangisku ikut pecah. Aku baru saja menyebut nama itu setelah sekian lama. Alan.

"Kamu seharusnya meminta maaf pada Najwa. Dia yang paling tersakiti atas tindakanmu," ucap umi.

Najwa adalah sosok yang paling sering kusakiti. Aku sudah tidak ingat berapa kali membuatnya bersedih. Luka yang kutorehkan untuknya terlalu banyak. Aku malu jika berhadapan dengannya lagi. Pertemuan kami di bandara tadi bahkan hampir membuat tubuhku runtuh.

"Alan memang bersalah terhadap Najwa mi." Aku semakin erat memegang tangan umi dan menciumnya. Tangan umi bahkan sudah basah karena air mataku yang tak kunjung berhenti.

Mahram Untuk Najwa (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang