"Marahnya suami adalah cobaan bagi istri. Aku akan terus bersabar. Aku harap suatu saat nanti hatimu akan luluh. Aku harap."
_Malaika Farida Najwa_
_ _ _
Samar-samar aku mendengar seseorang terisak. Suaranya sangat kecil hingga nyaris tak terdengar. Tapi aku benar mendengarnya. Suaranya berasal dari kamar yang mas Fadlan katakan sebagai kamar tamu. Aku memberanikan diri membuka pintu. Sedari tadi tidurku tak pernah nyenyak karena terus memikirkan kalimat ambigu yang mas Fadlan katakan. Hingga akhirnya suara isakan itu terdengar. Aku dibuat penasaran karenanya. Siapa yang menangis malam-malam begini? Kulirik jam dinding yang menunjukkan pukul 12:45 malam. Dengan nafas yang beradu, aku memaksakan diri untuk melawan takut. Aku selalu menguatkan hati dengan mengingat Allah SWT. Hanya Allah dzat yang maha kuasa.
Aku memutar kenop pintu. Alhamdulillah pintunya tidak terkunci. Sedikit celah mulai terbuka. Aku mendekatkan diri untuk melihat apa yang terjadi.
Mas Fadlan? Kenapa mas Fadlan ada disini? Kenapa dia menangis?
Pertnyaan-pertanyaan itu muncul seiring dengan mataku yang menangkap sosok laki-laki tengah duduk di atas ranjang. Tangannya seperti memegang sebuah foto. Aku tidak tahu jelas foto apa yang mas Fadlan pegang. Apa itu foto Jihan?Aku memilih untuk menjauh. Aku tak ingin mencaritahu lebih dalam lagi. Aku takut jika aku bertindak lebih jauh, aku akan mendapatkan fakta yang justru membuatku hancur. Aku tidak mau. Lebih baik aku diam. Setidaknya hanya itu yang bisa kulakukan sekarang.
_ _ _
Harum tercium ketika cabai, bawang merah dan bawang putih yang sudah kuhaluskan kumasukkan ke dalam minyak panas. Setelahnya kumasukkan sosis, telur dan daun bawang ke dalam bumbu. Kecap, garam dan merica menjadi pelengkap yang sempurna. Selanjutnya kumasukkan pula nasi diantara bumbu-bumbu tadi. Aku aduk semua bumbu hingga tercampur rata. Beberapa menit kemudian nasi goreng ala Najwa sudah jadi. Aku tersenyum senang. Mulai hari ini aku bertekad untuk memulai rutinitasku menjadi istri yang baik. Membuat sarapan menjadi langkah pertama. Menu nasi goreng bukanlah menu yang kuharapkan, namun melihat kulkas yang masih kosong membuatku mau tidak mau harus membuat makanan alakadarnya. Setidaknya hanya untuk hari ini.
Aku menatap anak tangga sambil berharap sosok yang kutunggu segera hadir. Aku mengucap syukur ketika mas Fadlan turun. Pakaiannya hari ini terlihat rapi. Kemeja dan dasi membuatnya terlihat seperti orang kantoran. Dia masih terlihat sama. Tampan, bahkan sangat tampan.
"Mas, sarapannya." Aku menyuguhkan nasi goreng buatanku di meja. Bukannya merespon, mas Fadlan justru sibuk meneliti setiap isi tasnya. Mungkin Ia takut ketinggalan file penting.
"Mas." Aku memanggilnya sekali lagi.
"Kamu nggak usah sok perhatian."
Deg ada apa ini? Kenapa mas Fadlan berbicara seperti itu? Seolah dia bukan seperti mas Fadla yang kutemui kemarin.
"Mas."
"Kan aku udah bilang. Nggak usah sok perhatian!"
Aku mengerutkan kening. "Maksud mas apa? Aku cuman mau minta mas sarapan dulu sebelum pergi ke kantor."
Mas Fadlan menutup resleting tasnya. Ia berjalan ke arahku. Matanya seperti menyiratkan amarah.
"Kamu hanya wanita perebut calon suami orang. Jangan bersikap seolah kamu mau menjadi istri yang baik. Munafik!"
Aku merasakan ada sesuatu yang menghantam hatiku dengan keras. Rasanya nyeri dan ngilu. Bagaimana mungkin mas Fadlan berkata seperti itu padaku? Apa dia tidak berfikir kata-katanya membuatku sakit hati?
"Kenapa mas berkata seperti itu?" Mataku sudah mulai berair. Rasanya sangat sedih ketika orang yang kucintai berkata seolah aku adalah orang yang jahat.
"Hanya orang bodoh yang bertanya padahal dia sudah tahu jawabannya."
Mas Fadlan langsung pergi setelah mengatakan kalimat pahit itu. Aku memeluk diri dalam kesedihan. Ada apa dengan mas Fadlan? Kenapa dia berubah? Ya Allah, sebenarnya apa rencana-Mu? Kenapa rentetan cobaan ini mendatangiku bertubi-tubi?
Aku mengucap istighfar puluhan kali. Aku harus selalu ingat, di dalam pernikahan selalu ada cobaan. Cobaan dalam pernikahanku baru saja dimulai. Aku tahu pernikahan ini memang salah. Mas Fadlan juga berhak untuk marah dan membenciku. Semua itu pilihannya. Jika dia memang mau membenciku maka aku sebagai istri harus bisa bersabar. Lagipula disini mas Fadlan adalah korban dan aku adalah tersangkanya.
_ _ _
Setelah kejadian sarapan waktu itu, sikap mas Fadlan semakin menyiratkan ketidaksukaan padaku. Gaya bicaranya pun sudah berubah, begitupula dengan intonasinya. Mas Fadlan sering meninggikan suara. Dia memang tidak pernah melakukan kekerasan fisik tapi kata-katanya sudah cukup untuk membuat hatiku hancur. Hari-hariku berlanjut bagai berjalan diatas bara api. Semakin aku melanjutkan langkah, rasa sakitnya makin terasa. Jika aku berhenti, rasa sakitnya tambah menjadi-jadi. Jika aku kembali maka sama saja aku bunuh diri. Aku sudah berjalan terlalu jauh. Jalan kembali sudah tidak ada.
"Mas." Aku memanggil mas Fadlan yang tengah sibuk memakai sepatu.
"Aku mau ke toko, Ada hal yang harus kukerjakan."
Mas Fadlan tak memberikan tanggapan apapun. Ia berlalu pergi begitu saja. Aku merasa seperti benalu dalam hari-harinya. Aku masih bingung kenapa mas Fadlan berubah seperti ini. Sehari setelah pernikahan semua masih baik-baik saja. Jujur, aku lebih baik menerima hinaan daripada keterdiaman. Diamnya mas Fadlan membuatku mengukir ribuan pertanyaan tentang apa sebenarnya alasan dia terdiam. Aku bingung. Semunya semakin pelik untuk mengungkapkan dengan kata-kata. Apa ini maksud perkataan mas Fadlan waktu itu? Jika sewaktu-waktu dia berubah maka aku harus bersabar. Apa benar?
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Mahram Untuk Najwa (END)
Spiritual(MUN 1) Fadlan dan Najwa yang sempat berpacaran saat masih duduk di bangku SMA dipertemukan kembali setelah waktu membawa mereka sangat jauh. Najwa yang telah hijrah dan mengenakan cadar membuat Fadlan tidak mengetahui kehadirannya saat mereka perta...