-7- Bicara yang tak ingin didengar

30.6K 3.8K 27
                                    

“Berkatalah sekehendakmu ‘tuk menghina kehormatanku, diamku dari orang hina adalah suatu jawaban. Bukan berarti aku tak punya jawaban, tetapi tak pantas bagi singa meladeni anjing.” —Imam Syafi'i.

*****

Jari jemari tangan bergerak sedikit-sedikit. Mata mulai bergerak pelan. Kepala terasa berat membuat Juna meringis. Lani yang mengetahui tangan suaminya bergerak, langsung memencet bel untuk memanggil Dokter.

Setelah diperiksa Dokter. Lani mengucapkan terimakasih pada dokter. Dan dibalas senyum tulus. "Bapak Juna sudah melewati masa kritis Bu.. Sekarang masa pemulihan dan untuk bapak Juna jangan terlalu bergerak agar luka nya cepat kering.." jelas dokter.

"Iya terimakasih, Dok."

"Sama-sama Bu.. Saya duluan," pamit Dokter muda diikuti 2 perawat disampingnya.

Mata Juna sebenarnya sayup-sayup pusing jika digunakan untuk melihat, efek dari benturan keras dikepalanya. "Ica dimana ya, Bun?" —namanya juga orangtua. Sebagaimana pun keadaannya jika tidak melihat anaknya maka itulah hal pertama yang dicari.

"Ini udah jam pulang sekolah, mungkin masih dijalan, Yah."

Dahi Juna mengerut. "Naik apa ke sekolahnya?"

"Udahlah Yah, jangan terlalu dipikirkan. Lagian Syifa udah besar pasti bisa jaga diri. Mending Ayah istirahat aja, Syifa pasti bentar lagi pulang,"

"Bukan gitu, Syifa itu udah salah pergaulan—"

Decitan pintu berbunyi membuat Lani dan Juna melihat kesumber suara. Lani dan Juna menatap lekat anaknya, Hijab yang menyelimuti kepalanya berwarna putih senada dengan seragamnya.

"Assalamualaikum Bunda.. Ayah" Sapa Syifa sambil tersenyum.

"Waalaikumussalam" Jawab Lani dan Juna serentak.

Syifa menghampiri Ayah dan Bundanya lekas menyalami mereka berdua. "Ma Syaa Allah, Ica," seru Juna takjub.

Syifa yang duduk disamping ranjang Ayahnya tersenyum sambil matanya berkaca-kaca. Sesulit apapun ia menahan agar airmatanya tidak jatuh. "Ayah sudah enakan?" tanya Syifa.

"Sudah, apalagi baru buka mata lihat anak Ayah pakai mahkota yang indah ini," Juna mengelus kepala Syifa dengan senyum sendu yang membuat hati Syifa terenyuh.

Syifa membalasnya dengan secarik senyum juga. "Ayah sehat-sehat ya,"

"Terimakasih sudah mau menuruti perintah Ayah,"

Perempuan ini menggeleng keras. "Ini bukan karena Ayah, tapi karena perintah Allah." ucapnya lembut.

Juna dan Lani menatap Syifa dengan tidak percaya. Ucapannya mampu membuat hati kedua orangtuanya melembut. Malam ini kembali terasa manis bagi keluarga kecil ini. Menikmati angin malam yang masuk melewati celah jendela kecil diruangan tempat Juna dirawat.

Kota terang dan banyaknya kendaraan yang lalu lalang. Menikmati lama nya malam dengan secangkir teh hangat dengan biskuit kelapa.

Sesuatu yang di sikapi dengan bersyukur akan selalu merasakan kecukupan.

*****

Matahari tidak tanggung-tanggung menampakkan sinarnya. Cuaca pagi ini sedikit menyenggat dikulit, apalagi bagi gadis dengan kulit putih akan berubah merah karena sinar matahari. Hari ini jalanan Ibu kota sangat lancar, tiada klakson yang berbunyi sahut menyahut yang mengutamakan dirinya untuk didengar.

Angin pagi ini meniup hijabku yang tidak tertutup helm. Senyum tipis menghiasi mukaku siapa sangka dulu aku seperti tidak siap akan hijab yang menutupi rambutku ini.

Senja Assyifa [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang