marry a noona pt.4

549 57 5
                                    

Hari yang tidak kuharapkan pun tiba. Ya, hari pernikahanku. Aku harap, ada seseorang yang mau membangunkanku dari mimpi buruk ini.

Sekali lagi juga, aku mendapati diriku kembali berjalan bersama ayah menuju altar dimana Renjun sudah berdiri dengan gagahnya. Mengenakan tuxedo putih, dengan rambut tersisir rapi yang memperlihatkan dahi mulusnya. Ia tampan, tidak kalah dengan Sicheng.

Lucu ya, beberapa waktu yang lalu Sicheng adalah pria yang berdiri di altar itu tapi sekarang, Sicheng justru sedang duduk di barisan terdepan dengan Yiyang istrinya. Takdir hidup seorang Cho Miyeon memang selucu ini.

Sampai di altar, aku disambut oleh senyuman bahagia Renjun.

Apakah ia sungguh-sungguh bahagia menikahiku?

Maksudku, menikah di usia 20 tahun bukankah suatu penyiksaan? Aku yang 23 tahun saja masih tidak rela menyerahkan hidupku untuk berkomitmen.

"Apakah kau, Huang Renjun bersedia menerima Cho Miyeon untuk menjadi isterimu, baik dalam suka maupun duka, kaya maupun miskin, sehat maupun sakit, sampai mau memisahkan?"

"Ya, saya bersedia," sahutnya mantap menatap kedalam kedua netraku. Meyakinkanku kalau ia sedang sungguh-sungguh.

Hatiku berdegup ditatapi begitu. Aku baru menyadari kalau Renjun memiliki warna mata hitam  pekat yang indah sekaligus misterius.

"Apakah kau, Cho Miyeon bersedia menerima Huang Renjun untuk menjadi suamimu, baik dalam suka maupun duka, kaya maupun miskin, sehat maupun sakit, sampai maut memisahkan?"

"Ya, saya bersedia."

Aku bahkan tidak tahu jawabanku barusan sungguh-sungguh dari hati atau bukan. Aku hanya ingin ini segera selesai. Mengabulkan apa yang orang tuaku inginkan.

Seusai mengikrarkan janji suci –yang ironisnya dilakukan demi kontrak kerja sama perusahaan, aku dan Renjun bertukar cincin.

Tibalah satu lagi moment yang tidak kuingini,

Yup, the wedding kiss.

Berlahan, Renjun membuka tudung pengantinku. Aku hanya mampu melirik malu, layaknya gadia remaja di hadapan cinta pertamanya.

Ya, aku malu sungguhan sekarang. Jantungku berdebar, bocah ini ternyata bisa juga membuatku merasa seperti ini.

Wajah kami berdua berlahan mendekat. Seiring jarak wajah kami yang semakin terliminasi, mataku juga berlahan terpejam.

Cup.

Tidak kusangka, bocah mesum ini tidak mengecup bibirku melainkan ia mengecup keningku.

Bukannya ia sedari kemarin terus meminta untuk mencium bibirku? Kenapa di saat ada kesempatan dan aku mengijinkan, ia justru menyia-nyiakannya?

Loh, kenapa juga aku harus peduli?

Para tamu undanganpun bertepuk tangan dengan senyuman bahagia merekah manis di wajah mereka semua. Ibuku sedang menangis haru bersama ibu Renjun.

Sicheng dan Yiyang juga menghampiri kami untuk memberi selamat.

"Jadi yang harus berterima kasih itu aku atau dirimu nih?" tanya sembari Sicheng memeluk Renjun erat.

Aku mengernyit bingung dengan pertanyaan Sicheng tadi.

Sadar akan kebingunganku, Sicheng pun menjelaskan,"iniloh si Renjun, masa ia mencerit–"

"Kak, keep it as our secret!" potong Renjun sebelum Sicheng membeberkan semuanya.

"Hahahah, baiklah adik ku," sahut Sicheng mengabulkan larangan Renjun.

RENJUN'S JOURNALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang