notice me noona pt.3

327 37 9
                                        

Perempuan itu menangis kejar dalam pelukan Renjun. Menumpahkan sakit hatinya akibat ulah sang kekasih –yang sekarang sudah menjadi mantan.

Renjun memang selalu berharap bisa memeluk Miyeon seperti sekarang ini, tapi tidak begini situasinya. Hatinya juga ikut sakit mendengar tangisan Miyeon yang memiluhkan. Sepertinya, ia akan benar-benar menghajar wajah kakaknya kalau bertemu nanti.

"Renjun? Untuk apa datang malam-malam?" tanya sang tuan rumah saat mendapati Renjun di depan pintu apartemennya.

Lamunan Renjun buyar. Ya, adegan Miyeon menangis tadi hanya bayangan dalam benak Renjun saja. Di drama-drama yang sering ia tonton, biasanya akan seperti itu.

Tapi kenyataannya, Miyeon di hadapannya nampak santai-santai saja. Padahal Renjun sudha khawatir setengah mati.

"Kak Miyeon, kok kau baik-baik saja?" pertanyaan polos yang secara spontan keluar dari mulut Renjun.

"Hah? Pertanyaan macam apa itu? Kau sedang tidak mabuk kan?" Miyeon bertanya lagi dengan bingung.

"Maksudku, K-kak Jun dan kau, bukannya?"

"Oh jadi kau sudah tahu?"

Renjun mengangguk.

Miyeon lalu menarik tangan Renjun untuk masuk ke apartemennya tapi Renjun menolak. Ia tetap bertahan di depan pintu apartemen Miyeon, tidak mau masuk.

"Kenapa tak mau masuk?" tanya Miyeon lagi, malam ini Renjun benar-benar membuatnya serba kebingungan dengan sikap aneh pemuds itu.

"T-tidak mau, a-aku laki-laki. K-ke apartemen seorang perempuan lajang di malam ha–"

"Pikiranmu kejauhan Renjun-ah! Sudah ayo masuk!" tegas Miyeon menarik Renjun lagi untuk masuk ke apartemennya.

Bukannya apa, ia tidak nyaman saja mengobrol di depan pintu. Terlebih lagi untuk membahas kehidupan pribadinya.

Entah Miyeon menyadarinya atau tidak, ia masih terus mengenggam tangab Renjun bahkan setelah melewati pintu masuk apartemennya. Menuntun pemuda itu untuk duduk manis di sofa ruang tengahnya.

"Duduk disini, aku buatkan minum dan akan kujelaskan semuanya," tutur Miyeon sebelum menghilang ke dapurnya.

Ditinggal sendiri, Renjun lalu mengamati sekelilingnya. Banyak pajangan-pajangan imut serta beberapa foto Miyeon dengan orang terdekatnya yang terpajang disana. Suasana apartemennya juga rapi, bersih dan bahkan Renjun bisa menghirup aroma khas Miyeon yang mirip dengan aroma bunga menyegarkan.

Selama ini, ia tidak pernah memasuki apartemen Miyeon. Setiap kali mengantar, hanya sampai depan gedung saja. Dan sekarang, tiba-tiba ia berada disini, tentu saja itu membuatnya sedikit girang.

"Ini, minumlah," ucap Miyeon meletakan lemoj tea dingin di atas meja tamunya.

"Kak, kau benar-benar baik-baik saja?" tanya Renjun bahkan tidak menggubris minuman yang Miyeon siapkan untuknya.

"Apa kau mengkhawatirkanku?" tanya Miyeon menunjukan raut gemasnya pada Renjun.

"T-tentu saja aku khawatir," sahut Renjun cepat walau sedikit tergagap karena salah tingkah melihat wajah menggemaskan Miyeon.

"Hahaha, ya Renjun. Aku baik-baik saja, terima kasih sudah mengkhawatirkanku," ucap Miyeon lembut. Jujur, ia terharu dan tidak menyangka kalau Renjun sebegitu perhatiannya. Ia selama ini berpikir bahwa Renjun hanya memandangnya sebagai orang asing yang kebetulan adalah kekasih dari kakaknya.

"Mengapa kalian bisa berakhir? Lalu bagaimana bisa kakak tenang begini? Kakak paham kan maksudku?" tanya Renjun lagi secara berturut-turut.

"Aku sesungguhnya sudah tidak terkejut lagi sih. Hubungan jarak jauh kami membuat perasaan kami pun kian merenggang. Setelah ia kembali pun, rasanya tidak ada kemajuan," jawab Miyeon.

"Apa kakakku ada menyakitimu?" tanya Renjun memastikan.

"Hahaha, tidak sama sekali. Justru aku bersyukur karena selama ini ia terus berusaha memperjuangkan hubungan kami, tapi ya pada akhirnya kami sama-sama tidak bisa bertahan jadi memang ini yang terbaik. Jangan menyalahkan Jun, lagipula kan yang kakakmu itu dia bukan aku. Harusnya kau membelanya dong," lanjut Miyeon menuturkan keheranannya.

Sungguh, Miyeon ini benar-benar perempuan yang tidak bisa tertebak. Renjun yakin, kakaknya tidak mungkin sebaik itu mengingat bagaimana dirinya dan teman-temannya membicarakan Miyeon di bar tadi.

"Kak Miyeon, jangan berbohong padaku. Aku bukan anak kecil lagi. Aku mengkhawatirkanmu," ucap Renjun serius.

Miyeon hanya diam, menatap balik sosok yang lebih muda darinya itu dengan tatapan lembut.

"Kenapa aku tidak bisa membohongimu sih?" dengus Miyeon dengan tawa ringannya yang terdengar sedikit getir.

"Ya Renjun, aku sedih. Ayolah, siapa yang tidak sedih jika hubungan yang sudah dijalin harus kandas. Tapi aku jujur mengenai pernyataanku tentang perasaanku tadi. Baik aku dan kakakmu sama-sama sudah mati rasa," jelas Miyeon.

"Kesedihanku ini benar-benar hanya sekedar rasa kosong karena harus melepas satu sosok yang sudah terbiasa ada dalam hidupku, tidak lebih. Sisanya ya aku sudah ikhlas, aku yakin kalau memang lebih baik seperti ini," lanjut Miyeon lagi.

Benar-benar tidak ada satupun umpatan maupun pernyataan kebencian yang gadis itu tujukan pada kakak tirinya. Semakin membuat Renjun tidak habis pikir. Mengapa ada perempuan sebaik dirinya?

"Kau tidak membenci kakakku?"

Miyeon menggeleng,"untuk apa?"

"Kak Miyeon, ia selama ini terus menelantarkan dirimu. Selalu menitipkan dirimu padaku yang adalah adiknya ini. Apakah pantas seorang kekasih seperti itu? Ia bukan kekasih yang baik! Bahkan saat ia sudah pulang ke Korea, ia lebih sibuk dengan urusannya dan malah mengakhiri hubungan kalian!" cerca Renjun tidak terima.

Aneh bukan? Yang diputuskan adalah Miyeon tapi Renjun yang mengomel.

"Ya aku sadar dengan itu semua, aku menyadari kok bahwa perlahan ia memang menelantarkanku tapi aneh tidak jika aku bilang kalau aku justru bersyukur untuk semua itu?"

"Memangnya kenapa? Kau benar-benar aneh kak, di saat perempuan mengemis perhatian kekasihnya, kau justru senang ditelantarkan begitu," komentar Renjun dengan sedikit emosi.

"Karena aku merasa tidak ditelantarkan, kau selalu di sisiku dan menemaniku. Walau kau bukan Jun yang notabene adalah kekasihku, tapi aku sangat menikmati waktu yang kuhabiskan bersamamu," tutur Miyeon.

Ditambah lagi dengan senyuman di wajah perempuan itu yang semakin mempertegas bahwa ucapannya itu tulus dari hatinya.

Hati Renjun berdetak, rasanya ia seperti mendengar pernyataan cinta Miyeon. Ia jadi melamun dan tidak tahu harus berkata apa.

"Daripada bersedih karena putus dari Jun, jujur aku lebih merasa sedih karena nantinya aku dan dirimu mungkin takkan bisa mengha–"

"Kata siapa!? Kenapa kakak berkata seperti itu?" sela Renjun tidak terima. Ayolah, yang berakhir kan hubungannya dengan sang kakak bukan dengan Renjun.

Harusnya tidak ada korelasinya kan?

"Kau dan aku bisa kenal sampai sejauh ini karena kau adalah adik dari Jun, kekasihku. Tetapi hubungan kami sudah kandas, jadi ya sebenarnya tidak ada alasan lagi untuk kita saling bertemu bukan?"

Mendengar itu, hati Renjun remuk.

Jadi selama ini pun, di mata Miyeon ia masih hanyalah 'adik seorang Wen Junhui' bukan seorang 'Huang Renjun' tanpa bayang-bayang kakaknya.

"Haha, bodoh kau Renjun. Memang dari awal kan seperti itu? Kau saja yang terlalu berharap," gumam Renjun dalam batinnya.

Malam ini, yang patah hati ternyata bukan Miyeon melainkan Renjun.

-tbc-

RENJUN'S JOURNALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang