BAB 4 - Momen

5K 625 13
                                    

—Wedding Ruiner—

Aku hanya diam mendengarkan omelan Mama padaku yang sudah berlangsung hampir sepuluh menit. Padahal aku hanya menanyakan satu hal, tak kusangka responnya akan seburuk ini. Aku menunduk penuh sesal.

"Kenapa sih ini ribut-ribut?" tanya Papa terheran. Papa datang bersama Pandu dan Kak Rendi. Mereka bergabung dengan aku dan Mama, duduk di ruang keluarga. Aku tetap menunduk tanpa kata.

"Anakmu ini loh, Pa. Ada-ada aja permintaannya. Masa mau ngekos. Katanya capek lah bolak-balik kantor. Kejauhan. Gak masuk akal Mama, ah!"

"Ya kan emang kantornya jauh, Ma." Papa merespon dengan tenang.

Kantorku terbilang jauh. Minimal 45 menit sampai 1 jam di kala jalanan normal, bisa jauh lebih lama saat jam sibuk. Hal itu membuatku harus pergi di pagi buta agar tidak terkena macet, jika membawa kendaraan sendiri. Terkadang, aku memang menggunakan commuter line, tetapi aku harus beberapa kali berganti kereta, seringnya aku merasa akan lebih ringkas jika membawa mobil sendiri. Jadi ketika teman sekantorku menawarkan untuk menyewa apartemen bersama, aku tergiur.

"Jauh sih jauh, tapi gak masuk akal kalau sampai ngekos ah! Seperti enggak punya orang tua lagi saja. Avantika saja mama suruh tinggal di sini, enggak mungkinlah anak sendiri Mama izinkan mengekos."

"Iya, Ma. Iya. Sudah, ya." Aku mulai jengah dengan semua omelan Mama.

"Nanti kalau memang lelah sekali, kamu bisa minta tolong Pak Amir untuk antar jemput kamu. Papa juga sekarangkan enggak terlalu banyak kegiatan. Pak Amir seringnya menganggur di rumah." Papa mencoba memberi solusi.

"Nah, betul! Ya atau cari pacar lah biar ada yang dimintai tolong kalau memang lembur atau gimana. Kaya Atha tuh selalu siap sedia dampingi Avantika."

Aku berdecak. Lagi-lagi Avantika dan Kak Atha ya, Ma, batinku. Serasa tidak cukup selama tiga bulan ini aku harus menahan sakit melihat Kak Atha dan Avantika yang selalu bersama, Mama selalu saja membicarakan mereka. Avantika dan Atha beginilah. Avantika dan Atha begitulah. Aku sampai muak dengan sakit hati. Belum lagi, Kak Atha dalam dua minggu belakangan ini sangat sering menginap dengan alasan lembur. Rasanya semua usahaku untuk menghindari dia tiga bulan sebelumnya menjadi sia-sia. Ini juga yang menjadi pertimbanganku ingin keluar dari rumah.

"Ya, tapi Mama lihat aja sendiri. Gara-gara pacaran terus kerjaan dia enggak siap-siap tuh. Makanya, nginep mulu." Aku tahu aku terdengar sangat ketus. Namun, yang tidak aku tahu adalah Avantika dan Kak Atha baru saja bergabung dengan kami. Senggolan dari Kak Pandu yang membuat aku sadar.

Kak Atha menatapku terkejut. Sementara, Avantika menampilkan wajah bersalah sekaligus malu. Mama mendelik kepadaku. "Kok kamu enggak sopan?!"

Bodoh amat. Aku bangkit dan berlalu. Tidak lupa membanting pintu kamar sebelum menguncinya.

—Wedding Ruiner —

Ada benarnya kata orang-orang, jika seseorang merasa bersalah pasti ia akan malu untuk bertemu. Sama seperti aku yang tidak sanggup untuk bertatap muka dengan Kak Atha dan Avantika. Aku benar-benar merasa tidak enak dengan mereka sejak celetukanku minggu lalu.

Untungnya, Avantika sedang dinas keluar kota. Jadi, aku tidak perlu repot-repot menghindarinya. Aku hanya perlu memikirkan bagaimana menghindari Kak Atha. Sempat beberapa kali kami berpapasan, Kak Atha terlihat ingin menghampiriku, tetapi aku langsung berpura-pura terburu-buru ingin mengerjakan sesuatu. Terburu-buru masuk toilet. Terburu-buru berangkat keluar. Bahkan sekedar terburu-buru menelepon seseorang. Aku yakin, Kak Atha sadar bahwa aku menghindarinya. Aku tidak peduli.

Wedding RuinerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang