—Wedding Ruiner—
Aku menggeliat ketika sayup-sayup mendengar bisikan namaku. "Ara, bangun." Bisikan itu terdengar lagi. Sekarang disertakan guncangan kecil di lenganku. Aku mengintip dengan sebelah mataku, bukan malas, tapi karena tak mau melihat lampu terang menyilaukan mata.
"Apa sih, Kak?"
"Mau ikut enggak?"
Aku mengernyit. "Kenapa bisik-bisik? Mau kemana?" Aku ikut berbisik meski dengan suara parau khas bangun tidur.
"Udah tengah malam," kata Kak Pandu. "Ke rumah sakit, yuk. Mamanya Atha masuk rumah sakit."
Otomatis aku melebarkan mata. "Makin parah ya kak?" Kak Pandu mengangguk. Ia menempelkan jari telunjuknya ke bibir. "Jangan panik, jangan berisik. Biar kita berdua aja dulu yang ke sana. Atha need someone to rely on, kalau rame-rame malah bingung dianya."
"Tapi udah tengah malam, Kak."
"Yaelah, RS bapaknya dia juga. Santai. Ayo, ganti baju sana. Gue tunggu di garasi." Tak lama kemudian, meski dengan berjengkit-jengkit, aku dan Kak Pandu berhasil keluar rumah. Rasanya seperti maling di rumah sendiri. Aku dan Kak Pandu sempat terkekeh bersama.
Perjalanan menuju rumah sakit tidak butuh waktu lama di tengah malam seperti ini. Saat sampai ke rumah sakit, kami sempat dicegat satpam, tapi Kak Pandu menjelaskan bahwa kami adalah keluarga Bapak Pranaja, yang tidak lain adalah ayahnya Atha dan direktur rumah sakit ini. Kami pun dipersilaka masuk. Aku dan Kak Pandu bahkan langsung diantarkan menuju kamar kelas presiden yang hanya ada dua di dalam rumah sakit ini.
Tepat hendak membuka pintu, pintu lebar itu lebih dulu tergeser ke samping. Ayah kak Atha, Gian Pranaja, yang akrab kusapa Om Gian muncul dari balik pintu. Aku tersenyum dan menyium tangannya. Om Gian menyuruhku masuk sementara ia menahan Kak Pandu. Mereka terlihat menjauhi ruangan sambil bercakap-cakap. Entah apa yang mereka bicarakan, tapi aku cukup tahu diri bahwa aku tidak dilibatkan.
Aku melangkahkan kakiku ke ruangan super besar itu. Melongok ke kiri, di sanalah Adhyastha Pranaja berada. Kak Atha merunduk, kepalanya ia tenggelamkan di bahu ibunya yang tertidur pulas. Sementara, tangannya tidak lepas menggenggam tangan Tante Sarah atau yang akrab kusapa Ibu, yang penuh dengan selang-selang infus.
Sejujurnya, aku bingung. Melihat Kak Atha dalam posisi seperti itu, aku enggan masuk karena takut menganggunya. Namun, tidak mungkin juga aku terus berdiri di ambang pintu. Jadi, berusaha sepelan mungkin untuk mencapai sofa yang berada di belakang Kak Atha, tapi ternyata gagal. Kak Atha menyadari kehadiranku ketika aku merapatkan pintu. Iya menatapku kaget, tetapi tak lama kemudian senyum favoritku menyembul di wajahnya. Aku ikut tersenyum.
"Duduk ya, Kak," pamitku basa-basi.
Kak Atha mengangguk. Setelah memastikan ibunya tetap damai dalam tidurnya, Kak Atha menyusulku duduk di sofa. Lagi-lagi dia hanya tersenyum, tapi matanya tetap sendu. Malam ini pasti sangat berat untuk Kak Atha.
"Kenapa sih, tadi sore itu kakak enggak bilang, kakak pulang karena Ibu kaya gini kondisinya?" Kak Atha hanya menggeleng pasrah. Sebenarnya ini menjadi jawaban atas pertanyaanku tadi sore: mengapa Kak Atha terlihat sangat gelisah?
"Aku juga enggak tahu keadaannya sekacau itu tadi. Yang jagain mama itu kecolongan juga sih. Mereka lagi duduk-duduk di halaman, si Mama minta minum, tapi yang di botol sudah habis. Suster cuma ke dalam dua menit doang, ambil botol baru. Mama udah gak ada di halaman. Ya sudah, kan emang memorinya udah parah banget, enggak bisa inget jalan pulang juga. Jadi, Mama wandering gitu. Tadi ketemunya di kompleks lama, ya sekitar 3-4 kilo lah dari rumah. Abis lah dehidrasi, makanya di bawa ke RS. Sekalian mau periksa rutin. Beberapa minggu kebelakang emang makin parah kayanya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Wedding Ruiner
RomanceParticipant of MWM NPC 2020 Dosakah aku mencintaimu ? Peluklah aku, jangan menyerah Mereka bukan hakim kita - Dosakah Aku, Nidji.