—Wedding Ruiner—
Benar kata Kak Pandu, kita akan mudah menandai orang-orang yang senasib sepenanggungan dengan kita. There's just that feelings. Satu persatu kepingan puzzle itu mulai menyatu. Aku mengerti walau tidak sepenuhnya tahu. Mata itu memancarkan sinar yang sama.
Kakiku menapaki rerumputan rapi yang terhampar dari rumah utamaku ke arah gazebo taman belakang. Sendal jepit yang kukenakan tak seluruhnya melindungiku dari basahnya daun hijau itu. Aku melipat tanganku di dada lalu bersandar pada salah satu tiang pondok tersebut.
"Kamu ngerokok ya?" Pertanyaanku terdengar seperti protesan.
Ori buru-buru menyampakkan puntung rokoknya. Puma slip-ons yang digunakannya menjejalkan batangan tersebut ke tanah.
"Sorry, ya. Enggak suka cowok ngerokok?"
"Cewek mana coba yang suka cowok ngerokok?" Untuk pertanyaan retorik itu, Ori hanya menaikkan bahunya.
Kami melemparkan pandang ke arah rumah utama. Di sana, sebagian besar tamu masih berkumpul. Ibuku yang tergabung dalam banyak kelompok pengajian dan arisan membuat rumah kami sering sekali kebagian giliran acara kumpul-kumpul seperti ini. Kalau sedang apes—walau Mama akan marah jika mendengarnya, seperti ini, kami bisa mengadakan dua acara dalam satu bulan. Jadi, hari Minggu kali ini aku memilih untuk mengundang Ori ke rumah ketika dia mengajak bertemu, daripada harus keluar rumah lagi nanti malam.
Dari kerumunan tamu yang sedang sibuk menyendokkan menu-menu yang tersedia ke piring masing-masing, aku bisa menangkap sosok Kak Atha dan Avantika sedang berdiri di pojok sambil tertawa malu-malu. Aku melirik ke sebelah, dan aku tersenyum menyimpulkan. "Capek ya, Ri," deklarasiku dengan beribu makna.
Ori mengartikannya berbeda. Dia menepuk lantai pondok tepat di sampingnya sebagai pertanda untukku duduk di sebelahnya. Aku menurut tanpa enggan. Ori merangkulku, bukan sentuhan fisik kami yang pertama, jadi aku santai saja menanggapinya. Aku menatap Ori dengan seksama. Netra kami mengunci satu sama lain.
"Kenapa?" tanyanya lembut. Bau rokok masih terhidu hidungku. Aku sedikit memberengut tapi masih maklum.
"Promise me one thing?"
"Spill."
"Jangan ganggu mereka ya. Kamu bebas jadikan aku pelarian, tapi biarkan mereka bersama dan bahagia." Iya. Ori cinta dengan Avantika. Walau aku tidak tahu persis bagaimana kisah mereka tapi aku yakin bahwa Ori masih mencintai Avantika. Sejak aku sadar bahwa Ori adalah laki-laki yang kulihat di mal bersama Avantika beberapa minggu lalu, aku mulai mencurigai sesuatu. Ketika Ori bilang ia mengenal Avantika, kecurigaanku semakin memuncak. Lalu, saat aku melihat cara Ori memandang Avantika saat mereka bertemu satu jam lalu, aku tahu persis perasaannya. Aku bisa tahu karena kami punya pandangan merindu yang sama.
Telapak tangan Ori mengusap wajahnya sendiri. Mungkin ia berusaha menetralkan ekspresinya mendengar pernyataanku. "Secinta itu kamu sama dia ya?" Giliran pertanyaan Ori yang membuatku tak tahu harus merespon apa. But, well, there's no turning back. The cards already on the table.
"Kita sama-sama cinta sama orang yang bahagianya bukan sama kita. Walau aku sakit, aku cuma mau orang yang aku sayang bahagia. Aku rela, Ri. Rela kalau aku harus jadi pengalih perhatianmu agar Atha tetap bisa ditatap Avantika seperti itu. Supaya Avantika enggak berpaling lagi ke kamu. Maaf, Ri."
Ori menggeleng penuh ketidakpercayaan. "Gila aja. Bodoh banget Atha enggak bisa lihat kamu."
Aku tersenyum. Pahit tapi terasa lucu bagiku. "Aku terlalu dekat, hingga tak terlihat, Ri." Kemudian, aku melanjutkan, "aku enggak tahu apa yang terjadi dengan kamu dan Avantika, tapi aku rasa Avantika salah tidak memilih kamu dari awal."
KAMU SEDANG MEMBACA
Wedding Ruiner
Storie d'amoreParticipant of MWM NPC 2020 Dosakah aku mencintaimu ? Peluklah aku, jangan menyerah Mereka bukan hakim kita - Dosakah Aku, Nidji.