—Wedding Ruiner—
Aku terusik dari tidurku saat merasakan gerakan seseorang menulis dengan jarinya di punggungku. Aku menggeliatkan bahu pertanda tak ingin diganggu. Jemari itu tak berhenti. "Ih, nakal! Aku masih ngantuk nih." Suaraku parau. Aku masih memejamkan mata dan memunggunginya. Aku juga melilit guling empuk.
Tak mau kalah, sosok itu berjingkat merapat. Ia menyelipkan tangan kirinya di bawah pinggangku. Tangan kanannya melingkar di atas perutku. Ia menautkan kesepuluh jemarinya di sana. Dibawanya penggungku melekat ke abdomennya. Tubuhku yang jauh lebih kecil darinya membuat ia dengan mudahnya menggeserku dalam satu sentakan. Erat sekali pelukannya pagi ini.
"Gerah sih. Sesak." Aku masih belum mau bangun sepenuhnya dari tidurku. "Jogging saja sana," perintahku.
"Katanya ada yang mau ikut lari pagi bareng aku," sindirnya. Dia menggigit bahuku gemas.
Aku berputar tanpa membuka mata. Kusurukkan kepalaku ke dadanya. Kubalas pelukan itu seadanya. "Tapi, aku capek. Masih ngantuk."
"Siapa ya, yang tadi malam semangat banget mau mulai hidup sehat. Biar cepat isi." Laki-laki yang mendekapku ini mengusap pelan perut rataku. Aku mendesah. Lagi-lagi sore kemarin aku menelan kecewa. Si bulan masih rutin bertamu di bulan keenam pernikahan kami. Dia sih santai saja dengan bilang belum rezeki. Nikmati saja masa berdua kami. Hanya saja tidak semudah itu 'kan?
Akhirnya, aku membuka mataku. Aku mengurai pelukan kami agar bisa melihat wajahnya dengan saksama. Kunaikkan kepalaku ke atas lengannya. "Morning," sapanya. Pria favortiku ini mendaratkan kecupan di kening dan bibirku. Sebuah rutinitas tanpa absen setiap aku membuka mata. Hal ini sudah dia lakukan sejak awal kami menikah. Ah, tapi tetap saja selalu membuatku deg-degan tiada tara.
Aku mengulet. Lalu kutimpakan telapak tangan kananku ke bawah pipi kiri. Aku menatapnya sambil mengerucutkan bibir. "Kenapa? Masih iri sama bulu mataku?" godanya. Aku mengangguk. Sejak pertama kali bisa menatapnya selekat ini tanpa berbatas kacamata yang membingkai matanya, aku menyadari bulu matanya sangat indah. Lentik keterlaluan. Enak sekali dia, tak perlu sibuk-sibuk menata ulang bulu mata sambungan tiap bulannya.
"Kamu cantik meski enggak pake extensions kok, Ra," ujarnya.
"Tahu, kok." Aku terkekeh. "Siapa bilang aku pake extensions supaya cantik. Ini tuh buat menghemat waktu kali." Aku menjelaskan. Kerja di bank itu sudah sebelas dua belas sama model. Penampilan nomor satu. Make-up adalah sebuah kehakikian. Extensions bisa menghemat bermenit-menit waktu untuk menggunakan maskara dan bulu mata palsu.
"Iya, sayang." Dia menjawil hidungku. Mulutku manyun lagi. Laki-laki ini menoleh ke belakang. Dia melihat ke arah jam di atas nakas. "Jadi enggak nih jogging? Masih sempat." Dia berbalik ke arahku lagi.
"Perutku sakit. Nyerih nih. Period day 1."
Dia menarikku agar kepalaku berbaring di atas bantal. "I'm sorry you've go through this thing every month, Sayang," katanya. Laki-laki ini mengusap pangkal hidungku. "Ya sudah, istirahat kamu, ya." Dia berbalik merogoh laci nakas. "Mau pake ini enggak?" Dia menunjukkan sebungkus menstrual heat patch yang sering aku gunakan. Semacam koyo tapi ditujukan khusus untuk nyeri menstruasi. Aku menggeleng. "Nanti saja. Masih aman ini."
Laki-laki ini menatapku dengan pandangan putus asa. Serasa dia tak berguna karena tidak mampu melakukan apa-apa untukku. Padahal dengan begini saja, sudah cukup. "Sudah, jogging sana!" Aku memerintahnya.
"Skip deh hari ini. Mau bareng sama kamu saja. Cuddle up." Lalu laki-laki ini mencari nyaman di perutku. Dia mengetuk-ngetukkan jari-jarinya di situ. Memang sih, ini hari Minggu jadi kami bisa bersantai. Aku menyambut kehadirannya dengan memainkan rambutnya yang lagi-lagi mulai memanjang. Kenapa rambut laki-laki cepat panjangnya sih? Aku bertanya dalam hati. Rasa-rasanya baru dua minggu lalu aku menemaninya ke barber shop. "Ra, maaf ya, sayang."

KAMU SEDANG MEMBACA
Wedding Ruiner
RomanceParticipant of MWM NPC 2020 Dosakah aku mencintaimu ? Peluklah aku, jangan menyerah Mereka bukan hakim kita - Dosakah Aku, Nidji.