BAB 10 - Kencan Ganda

4.3K 574 28
                                    

—Wedding Ruiner—

Kalau hidupku adalah majalah, maka isu minggu ini adalah hubunganku dengan Ori. Tiba-tiba saja, semua orang bertanya tentang hubunganku dan Ori, seakan-akan kisah-kasih kami menjadi berita sorotan terhangat. Di mulai Mama yang menanyakan jenis hubungan kami, Kak Pandu yang kepo kenapa Ori bisa berturut-turut datang ke rumah lalu tiba-tiba menghilang tak tak tampak sekian hari. Bahkan—entah aku yang terlalu sensitif— aku merasa, Avantika pun turut menyerempetkan nama Ori di setiap kami berbicara. Oh ya, dan Avantika masih pura-pura polos akan kisahnya bersama pria itu. Ia bertingkah mereka tidak ada apa-apa yang membuatku semakin curiga pada Avantika.

Aku tidak berbohong pada mereka kalau aku dan Ori hanya berteman. Memang seperti itu kok adanya. Sebenarnya saja, komunikasi antara aku dan Ori ini tidak bisa dibilang lancar. Kami hanya berbicara ketika ada maunya saja. Seperti, mau curhat ataupun mau memanfaatkan kehadiran satu sama lain. Bisa dibilang, hubunganku dan Ori adalah friends with benefit dalam arti harafiah. Seperti saat ini, Ori menjemputku sepulang kerja. Kalau orang lain mungkin mengira Ori adalah bucinku, tapi karena aku tahu dia tidak cinta denganku, berarti dia emang bego. 'Kan bucin sama bego beda tipis, gumamku dalam hati. Apalagi kalau bukan bego? Mau-maunya dia menjemputku pergi kerja tadi pagi. Padahal, rumahnya ada di utara Jakarta, sementara rumahku ada di bagian Selatan. Kemudian, dia mengantarku ke kantorku yang ada di daerah timur lalu kembali ke selatan, posisi kantornya berada. Ulangi lagi ketika jam pulang kerja. Kalau aku, ya mau-mau saja. Untung juga, enggak keluar bensin plus tidak menghabiskan stok kesabaran.

Aku sudah bertanya pada Ori, apa maunya dia kali ini sehingga menyervisku sehebat ini. Dia berkilah malah modus bilang kangen.

"Halah! Kangen dari hongkong," cibirku.

"Kok enggak percayaan banget sih sama aku," katanya lagi. Aku hanya mengibaskan tangan pertanda aku tak peduli. Ori tertawa dan entah kenapa aku jadi ikutan tertawa.

Sesaat setelahnya, Ori mengangsurkan telepon gengamnya padaku. Aku otomatis menerima walau dengan kerutan di dahi. Laki-laki itu menyebutkan enam digit angka sebagai kode masuk ponselnya. Begitu terbuka, laman pesan langsung dari Instagram langsung terbuka. Aku membacanya dan seketika langsung menguasai keadaan.

"Baru dikomenin instastory aja langsung baper," ledekku. Belum lagi tahu gimana bapernya kalau ditemenin tidur. Giliran aku yang meledek diriku sendiri meski dalam hati.

"Ya, kalau cuma direspon sih enggak apa-apa ya. Baca sendiri lah, males aku ngingetnya." Ori jadi sebal sendiri. Aku tertawa kecil sambil kembali membaca kolom-kolom pesan di ponsel berkamera mirip boba milik Ori.

Iya sih, pastilah Ori baper. Avantika yang awalnya basa-basi mengomentari unggahan receh Ori semakin lama malah membawa kenangan basi di dalam percakapan mereka. Aku jadi ikutan kesal. Maksudnya apa coba? Takut kehilangan fans? Atau malah emang murahan aja? Aku mengeyahkan penilaian jahatku. Dia itu sepupuku. Harusnya aku tidak menilai buruk tentangnya.

"Avantika maunya apa sih?" Itu Ori yang bertanya. "Kalau bukan Atha, aku sih enggak peduli. Aku sikat juga, tapi ini Atha. Aku sudah kenal sama dia sejak lama, Ra! Jauh sebelum aku kenal Tika."

Aku tidak tahu harus berkomentar apa. Posisiku juga serba-salah. Terikat pada ketiga pihaknya. "Avantika kayanya mulai panas," kataku. Tetap saja akhirnya aku menyudutkan perempuan itu. "Masa tiap ngobrol sama aku, bahasnya kamu terus. Gimana sama Ori? Anaknya gimana? Baikkan? Kamu tuh harusnya begini sama dia. Harusnya begitu. Dia senengnya begini. Dih, dikira dia doang yang paling tahu kamu."

Ori mengalihkan padangnya kepadaku. Ia seakan tak percaya Avantika akan membicarakan dirinya dan meminta penjelasan lebih. Selow, dong, bro!

Wedding RuinerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang