BAB 22 - Pelik

4.7K 636 32
                                    

—Wedding Ruiner—

Aku baru membuka pintu masuk, ketika sebuah pelukan tiba-tiba mengungkungku. Kekehan Kak Pandu menelusup ke telinga ketika aku memekik kaget. Sudah seminggu dia tak tampak karena pergi dinas. Seminggu ini juga aku terlepas dari kebiasaan barunya memelukku setiap hari. Sedikit kesal, karena sejak aku 'mencari bantuan' semua orang memperlakukan aku layaknya barang pecah belah yang sangat riskan. Kak Pandu bahkan meciptakan kebiasaan barunya ini. Katanya, one hug a day keeps the doctor away. Halah. Aku berdecih saat mendengarnya. Palingan sebulan dua bulan juga terbiasa dengan kondisi baruku.

"Sana ah, gerah." Aku menggeliat dalam pelukannya.

"Rapel, Dek!" Kak Pandu terkekeh. Gila. Butuh tenaga ekstra hingga aku berhasil mengeluarkan diriku dari lingkaran tangan kak Pandu.

Aku segera masuk ke kamar dan memulai ritual bebersih badan. Setelah selesai, aku keluar kamar dan menemukan kak Pandu terkapar di ruang keluarga. Perutnya yang semakin buncit menyembul. Aku menepuk perut itu keras-keras. "Nge-gym lo, gimana mau gaet cewek."

"Bayarin," katanya. Sial! Duit dia juga yang lebih banyak. Cunguk bank yang belum sampai setahun ini mana ada apa-apanya dibanding arsitek seperti dia. Ini aja dia lagi menangani renovasi kantor pemerintahan.

"Duit jangan disimpan mulu, expired nanti."

Kak Pandu menggeleng. "Perut buncit lebih seru, Dek. Genjot-genjot gitu kalau WOT." Eh ... apa katanya? Sinting emang abang satu ini.

"A-en-je-a-ye juga fetish FWB-an lo! Bilangin mama baru tahu rasa lo. Taubat lah kau anak muda!" Kak Pandu terbahak. Aku pun.

Tiba-tiba dia duduk dari tidur telentangnya. "Baru kerasa emang. Lo udah lama banget enggak ketawa kaya gini." Kak Pandu merangkulku. Ralat. Ia memitingku. Aku menepuk bisepnya yang tak lagi keras pertanda aku mulai kehabisan napas.

"Sinting!" Aku merutuk. "I'm better now. Gak usah khawatir lah," jawabku lebih serius.

"How can i'm not worry?"

Aku mengedikkan bahu. Coba lebih santai mungkin? Bisikku dalam hati. "BTW, gue belum minta maaf sama lo."

Kak Pandu ber-hah ria. "Buat apa? Lebaran masih jauh."

"Yang waktu sebelum gue masuk RS."

Dia mengembuskan napas. "Apaan sih, gak usah dibahas lah. Enggak salah lo."

"Harus dibahas! Biar enggak salah persepsi terus-terusan," ujarku. "Gue sebel sama lo, sama semua orang sih lebih tepatnya. Cuma, lo aja yang naas." Aku terkekeh.

"Iya, udah enggak apa-apa. Lo emang harus ekspresiin emosi lo. Enggak boleh dipendam lagi ya." Kak Pandu mengacak rambutku pelan. Aku menyetujui pendapatnya.

"Tapi, kenapa sih enggak lo kasih tahu aja dari awal? Kenapa harus kode-kodean."

"Karena gue juga enggak tahu. Yang gue tahu, Atha itu pengen banget nikah selagi mamanya masih bisa inget dia. Makanya dia ngebet mau nikahin Sera tapi orangnya enggak mau cepat-cepat. Waktu Ibu sakit kemarin, gue tahu lah orang yang paling mungkin diajak nikah sama Atha. Cuma gue ragu sih. Gimana ya? Sebagai sahabat tuh gue kaya ngelihat hubungan mereka terlalu diburu. Gue berharap Atha enggak bakalan seburu-buru itu. Cuma ternyata, bener perkiraan gue kalau dia tetap pengen nikah selagi Ibu masih kondusif."

Wedding RuinerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang