—Wedding Ruiner—
Aku memeluk mama erat. Tidak pernah tahu hidupnya pernah sebegitu berat. Aku tidak membenarkan apa yang mama lakukan padaku, tapi juga tidak menyalahkan sepenuhnya. Mungkin keluarga kami tampak hangat. Berpergian ke luar negeri pun kerap dilakukan. Hanya sebenarnya tidak intim. Hubunganku dengannya pun tidak pernah berdrama tapi memang juga tidak semuanya aku ceritakan pada mama. Tidak semua orang bisa menceritakan semua hal pada orang tuanya, kan? Kami tidak sedekat nadi juga tidak sejauh bumi dan matahari.
"Walau mama pernah mengalaminya, tapi didikan kakek-nenekmu masih buat mama menganggap membicarakannya tabu. Dulu nenekmu yang bilang, jangan sampai anak-anakmu tahu. Nanti anakmu enggak punya hormat sama kamu. Itu katanya." Aku semakin mengeratkan pelukanku. Mama membelai rambutku.
"Mama inget, dulu kamu sangat ceria, Ra. Kamu selalu senyum. Ngintilin abang-abangmu sambil ketawa walaupun dikerjain disuruh ini itu." Pandangan Mama menerawang. "Belakangan, Mama sadar kamu berubah. Hidupmu berantakan. Enggak pernah senyum. Enggak ada Ara yang riang. Walau kamu emang bukan tipe punya banyak teman sana-sini, tapi bukan berarti kami selalu murung. Sebagai survivor, mama tahu tanda-tandanya. Tapi mama menolak untuk menerimanya. Mama enggak terima kalau-kalau ketakutan terbesar mama jadi kenyataan. Mama yang sudah setengah mati menjauhkan kalian dari semua pembahasan itu malah melihat anak mama jatuh ke kubangan yang sama. Sangking takutnya, mama malah marah-marah sama kamu berharap kamu sadar dan segera berubah. Mama bandingin kamu sama Avantika padahal maksud mama biar kamu punya role model."
Aku tidak pernah tahu bahwa keluargaku pun mengalami penyangkalan yang sama denganku. Aku tidak menyangka bahwa mereka pun takut mengakui bahwa ada sesuatu yang salah dariku. Mama tidak ingin percaya bahwa keterpurukan yang dia alami dulu terjadi padaku. History repeat it self, maybe that's true. Alih-alih menerimanya, dia malah marah dan membandingkan. Dia lampiaskan kekhawatirannya dengan menunjukkan keadaan ideal dengan cara yang salah. Mekanisme pertahanan diri dan segala kepelikannya. Aku menyeringai menyadari keironiannya. Kadang yang kita anggap mempertahankan diri malah merusak diri kita sendiri. Masalah yang paling besar adalah ketidaktahuan Mama tentang perasaanku. Jadi, ketika Mama kira Avantika adalah model peran yang baik, tidak bagiku. Emosiku malah berkali-kali lipat lebih dalam.
"Harusnya mama enggak dengerin nenekmu. Harusnya mama mengajarkan kalian bagaimana merawat kesehatan mental bukan malah menutupinya. Padahal mama tahu kemungkinan depresi akan terjadi pada seseorang yang keluarganya punya riwayat depresi."
Wow. Semua fakta ini sangat membuatku kewalahan. Sebuah sejarah yang sukses ditutupi. Pantas saja kalau ditilik, aku jarang sekali mengobrol dari hati ke hati bersama Mama. Karena, Mama dididik untuk tidak membicarakan perasaannya. Sadar atau tidak, dia melakukan hal yang sama pada kami. Hanya saja, aku sekarang lebih menerima semuanya dengan lapang dada. Hidup penuh trial dan error. Tidak ada panduan tetap bagaimana sebaiknya kita membuat keputusan. Keputusan A bisa baik buat seseorang tapi berdampak buruk pada orang lain. Semua yang mama lakukan ia pikir baik untukku. Masalahnya, akupun tak pernah menunjukkan bahwa aku enggan. Aku memilih menelannya bulat-bulat hingga asumsi-asumsi liar terbentuk. Beda cerita, jika aku telah menunjukkan keengganan tapi mama tak peduli. Komunikasi itu dua arah.
Mataku memerah saat aku mengemukakan hampir semua keluh kesahku. Tentang bagaimana mama yang selalu menyalahkanku. Mama yang tidak pernah bertanya tentang perasaanku. Mama yang membandingkanku. Mama mengakui kesalahannya dan bersedia memperbaikinya. Itu saja sudah cukup untukku. Aku juga berjanji untuk mulai berbagi cerita dengannya. Akan mulai memberitahu mana yang kusuka dan mana yang tidak—dengan sopan tentunya. Beberapa norma tetap harus terjaga kan?
"Ara, kamu harus tahu ya. Mama sayang kamu dan akan selalu rela menukarkan nyawa mama untuk kamu. Kalau mama banyak salah, mama minta maaf. Mama akan berusaha ya, Nak, memberi tahu yang baik dengan cara yang baik pula. Tanpa marah-marah, tanpa membandingkan. Kita sama-sama belajar ya, Nak. Anak mama kuat, ya, sayang."

KAMU SEDANG MEMBACA
Wedding Ruiner
Roman d'amourParticipant of MWM NPC 2020 Dosakah aku mencintaimu ? Peluklah aku, jangan menyerah Mereka bukan hakim kita - Dosakah Aku, Nidji.