BAB 15 - Rasuk Resah

3.9K 597 36
                                    

—Wedding Ruiner—

Semua pengorbananku beserta sakit hati yang kurasa demi kebahagiaan kak Atha terasa sia-sia saat aku membaca pesan dari Ori. Dalam tangkapan layar yang ia kirim lewat aplikasi obrolan daring, tertera Avantika yang kembali berbicara masa lalu dan bersedia menapak tilas bersama Ori lewat dua cangkir kopi. Alias cewek cantik itu menawari Ori buat jalan bareng sama dia for the sake of old memories. Jancuk!

Aku otomatis misuh-misuh dalam pesan balasanku. Tak lupa mengancam Ori agar dia tidak mengambil kesempatan emas itu. Enak saja! Aku sampai harus rela dijauhi kak Atha, eh yang dijaga perasaannya malah asik-asikan sama cowok lain. Aku tidak mau dedikasiku untuk kak Atha hanya membuatku sakit saja tanpa membawa kebahagiaan untuk laki-laki itu. Aku rela sakit demi tawanya, tapi jangan sampai kami sama-sama sakit, itu rugi bandar namanya.

Aku berdecak menatap gawaiku. Pesanku tak kunjung di balas. Masalahnya, Ori mematikan pemberitahuan centang biru, jadi aku tidak tahu dia sudah membacanya atau belum. Cuma hatiku tak tenang. Aku jadi sedikit curiga. Tanpa menunggu lama, kutekan gambar gagang telepon yang ada di sisi kanan atas layar. Satu dering sambungan, suara Ori menyapa.

"Awas kalau sampai kamu pergi, ya." Tanpa babibu aku menyerangnya.

"Ra...." jawaban Ori belum lagi lengkap. Namun, dari cara dia berbicara. Aku sudah tahu maksudnya.

"Anjing, kamu, Ri!" Aku mematikan telepon. Ponsel
pintarku kucampakkan ke lantai. Untungnya karpet bulu di samping tempat tidur meredam bantingannya. Aku tidak pernah sekasar itu sebelumnya, tapi menilai bagaimana orang-orang memperlakukanku kejam belakangan ini, aku rasa itu sebanding.

Aku menghempaskan punggungku dengan kasar ke kasur. Kupenjamkan mata melepaskan semua emosi. Inhale. Exhale. Ada juga guna yoga yang kubayar tujuh ratus ribu satu bulan itu. Inhale. Exhale. Aku terus mempraktekkan teknik pernapasan tersebuy hingga alam bawah sadar mengambil alih.

"Ara! Ori datang!" teriak mama. Suara dari balik
pintu itu mulai kembali membawaku ke alam sadar. Aku mengambil bantal, menaruhnya di atas telinga dan menekannya dengan lenganku yang kutarik ke atas. Gumpalan dakron bersarung itu menjadi penghalang kokleaku menerima rangsangan.

Sayangnya, tak berlangsung lama. Suara gedoran di pintu yang dibuat seolah-olah kayu jati itu adalah gendang benar-benar merusak tidur siangku. Suara Avantika menjadi pelengkapnya, "Araaaaa! Ada Oriiiiiiii," panggilnya bernada. "Ih lucu yaa Ara Ori." Sempat kudengar cekikan Avantika itu sebelum ia kembali menalu pintu kamarku. Dengan malas, kutarik bokongku dari dekapan posesif matras.

Aku membuka pintu pelan agar hanya kepalaku yang menyembul, itu pun setengah. "Apa?" Suaraku serak khas bangun tidur.

"Ada Kang Mas kamu tuh," jawabnya.

"Berapa karat? Kalau enggak 24 enggak mau."

Avantika tertawa puas. Padahal itu lelucon masuk angin, enggak garing lagi. Bisa ya dia ketawa gitu. Enggak tahu apa orang tersiksa gara-gara dia. Aku tahu, Avantika bukan sok manis. Dia juga enggak berpura-pura baik. Dia emang baik dalam berbagai hal lain. She just lack of compassion. Dia bisa dengan gamblang menyatakan ketidaksukaannya atau keengganannya dengan orang lain dan menganggap mereka akan baik-baik saja setelah itu. Jadi, walaupun dia sudah menyatakan langsung padaku bahwa dia cemburu dengan kedekatanku dan Kak Atha serta ibunya atau setelah aku mencuri dengar bahwa dia juga menyatakan hal yang sama pada kak Atha, dia menganggap semuanya baik-baik saja. Dia tidak akan meras risih atau takut menyakiti. Apa iya, jangan-jangan aku saja yang terlalu sensitif? Bisa saja sih.

Wedding RuinerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang