BAB 12 - Tangisan

4.4K 553 6
                                        

—Wedding Ruiner—

"Amit-amit cabang bayi." Aku mengetuk kening dan mengusap perutku bergantian. Berkali-kali. "Gila aja, Kak! Amit-amit. Jangan sampe ya Allah. Jauh-jauh. Pikiran Kakak kenapa aneh-aneh sih?"

Aku bisa mendengar embusan napas kak Atha benar-benar terasa lega. Mimiknya sekarang melembut. Detik itu juga membawaku ke dadanya. Gila-gila! Kak Atha peluk gue, batinku bersorak. Selama di dalam dekapannya itu pula, aku bisa merasakan degup jantungnya yang awalnya menggila lama-lama menjadi normal kembali seiring kak Atha yang semakin tenang.

"I don't know what was I thinking, Ra. I really don't know." Kak Atha semakin mengeratkan lingkaran tangannya di tubuhku, membuat pelukan kami semakin rapat tak berjarak. Kepalanya dia sandarkan di bahuku. Dia memulai ceritanya.

"Aku enggak tahu harus berasumsi apa ketika melihat kamu nangis semalaman. Waktu kamu nginep di rumah sakit, kamu nangis satu malaman pas tidur. Aku enggak tahu kamu kenapa, aku juga enggak tahu harus apa. Aku coba bangunin kamu, tapi kamu enggak sadar-sadar. Aku coba ajak ngobrol. Aku kaya orang bego ngajakin ngobrol orang yang lagi tidur sambil nangis, i know. Sia-sia emang, kamu enggak kasih tahu apa-apa. Sepanjang malam kamu cuma bisik-bisik: jangan, sakit, jahat. Coba, Ra, kalau kamu jadi aku, what i was supposed to think? Pikiranku udah jelek banget, Ra. It took me hours to calm you down. I even hugged you all night. Tetap, paginya kamu sempet ngeluarin air mata lagi, walaupun enggak nangis kejer kaya malamnya lagi. Ketika, tadi di mobil aku sadar kamu abis nangis, then I lost my mind."

Hah? Aku nangis sepanjang malam? Aku bahkan enggak sadar. Aku memang ingat, pagi itu aku terbangun lebih dulu dari pada kak Atha. Aku menemukan kepalaku berbantalkan dada kak Atha. Tidak ada lagi tote bag Tory Burch milikku yang pada awalnya dijadikan kak Atha pembatas antara kami. Lengan kiri kak Atha juga merangkulku. Aku bahkan sengaja terus menutup mata karena tak ingin momen itu berakhir.

Aku juga ingat, mataku terasa panas dan sakit. Aku kira sisa menangis semalam di kamar mandi. Sampai akhirnya, pintu berdecit dan suara suster menyapa Ibu terdengar. Posisi aku dan kak Atha memang tidak terlihat dari pintu masuk. Terhalang tirai yang melingkupi tempat tidur Ibu. Aku ingat, Kak Atha terbangun dan aku masih berpura-pura tidur. Lalu, dengan sangat hati-hati, ia memindahkan kembali kepalaku ke atas bantal. Kak Atha bahkan sampai berdesis kecil agar aku tidak terganggu. Persis seperti memindahkan bayi yang tertidur di gendongan. Dia memang sempat mengusap pipiku dan berbisik, "Please, jangan nangis, dong." Ketika dia berlalu untuk berbicara dengan suster, aku sempat meraba pipiku sendiri, dan ternyata memang basah. Aku kira, aku tidak sadar kalau aku sampai menangis karena lembutnya perlakuan kak Atha pagi itu. Aku sama sekali tidak mengira bahwa di dalam tidurku, aku telah menangis satu malaman. Sesungguhnya, aku juga penasaran, apa yang aku mimpikan malam itu?

Aku melepaskan pelukan kami. Kami duduk bersila dan berhadapan di atas sofa. Aku mengeluarkan senyum yang paling lembut. Sungguh, aku tidak pernah menyangka kak Atha bisa sefrustasi ini karena khawatir padaku. Kuraup kesepuluh jemarinya, kutautkan pada sepuluh jariku. Tangan kami menggantung setinggi dada. Saat aku melihat wajahnya, aku sedikit tersentak dengan fakta bahwa air mata telah menggenang di sudut mata kak Atha.

"Kak, aku enggak apa-apa, beneran. Aku aja enggak tahu loh, kalau aku nangis. Mungkin aku mimpi. Kadang aku mimpi suka aneh, Kak." Aku memberengut sedikit mengingat kelakukan anehku ketika tidur. "Aku juga bisa tidur sambil ketawa ngakak beneran sengakak itu." Mendengar pengakuanku, kak Atha tertawa.

Aku mengubah posisi dudukku. Kusandarkan punggungku ke bantalan sofa yang sangat nyaman. Lengan kananku melingkari lengan kiri kak Atha yang ternyata bisepnya lumayan keras. Aku begelayut di sana. "Thank you for worrying me," tuturku.

Wedding RuinerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang