—Wedding Ruiner—
Memandang lampu-lampu dengan pendar merah dari barisan mobil yang tersendat di sepanjang jalan dari Pulo Gadung menuju Cilandak, membuatku sangat penat. Alunan musik dan bacot dari penyiar radio pun tak cukup menghibur. Tiba-tiba ponselku berbunyi. Telepon dari kak Pandu.
"Yuhu, Ara's speaking."
"Sok bule lo!" Kak Pandu mengumpat. Selanjutnya, ia menginstruksikanku untuk mampir ke rumah sakit tempat ibu Atha di rawat selama seminggu ini. Tentu saja aku mengeluh, cinta boleh, bego jangan, ya setidaknya untuk hari ini. Untuk pulang ke Cilandak saja sudah melelahkan, konon jika aku harus pergi ke Cinere sana. Ampun!
"Besok aja lah. Capek gue, Kak. Enggak punya cowok yang bisa disuruh nyetir." Mendengar jawabanku, kak
Pandu mengomel lagi. Namun, akhirnya ia menyerahkan keputusan akhir kepadaku. Okay, to home, off we go.Sayang, jargon jangan bego karena cinta yang kugadang-gadang tadi, hanya sampai di mulut saja. Ketika giliran kak Atha yang menelepon dan memintaku menemaninya di rumah sakit, aku langsung mengubah tujuan pintu tol keluarku. Emang bucin sih lo, Ra. Aku mengumpat pada diri sendiri.
"Assalamualaikum." Aku memberi salam dengan sangat riang ketika membuka pintu kamar perawatan Ibu. Naas, pemandangan yang kutemukan melunturkan kebahagiaanku. Semerbak manis dari martabak yang kubawa, malah membuatku mual. Padahal, sedari tadi aku sudah menahan diri untuk tidak mencomotnya duluan. Di dalam, ada Avantika, Kak Atha, om Gian dan tentu Ibu. Mereka sedang makan malam sambil mengobrol santai. Ibu tampak bugar. Sepertinya juga, ingatannya malam ini sedang dalam kondisi baik.
"Ara," sapa Ibu. "Masuk-masuk."
Aku melangkah masuk. Setelah mencium tangan om Gian, aku memeluk Ibu. "Semoga Ibu cepat pulang, ya." Aku menyampaikan harapanku. Ibu memgangguk dan menepuk pundakku. Sejak Ibu mendapat diagnosa Alzheimer, Ibu tidak suka diucapkan cepat sembuh, karena baginya itu akan sia-sia. Aku sempat sedih mendengarnya, tetapi juga paham keputusasaan ibu. Jadi, setiap dia harus dirawat di rumah sakit, aku selalu mengucapkan semoga cepat pulang.
"Akhirnya, kamu datang juga. Ibu pikir kamu sibuknya sudah seperti Syahrini saja."
Aku tertawa. "Kerja, Bu. Kantornya jauh. Selalu kemaleman kalau mau jenguk."
Lagi, Ibu mengangguk mengerti. "Nginep sini dong! Ibu bosen ditemenin Atha terus. Diem mulu kaya patung, kalau enggak itu heboh sendiri sama tembak-tembakan di hp-nya."
Aku melirik ke arah kak Atha yang masih sibuk dengan nasi gorengnya. Aku dan Ibu memang dekat. Ia selalu menganggapku pengganti anak terakhirnya yang keguguran pada usia tujuh bulan kehamilannya. Katanya, jika lahir, dia akan seusiaku. Apalagi, sejak kedua kakak perempuan Atha harus merantau mengikut pekerjaan suaminya, kalau tidak salah ketika aku kelas dua SMA dan baru mulai kuliah. Ibu jadi semakin sering mengajakku untuk sekedar menemaninya jalan-jalan, terkadang bersama Mama juga. Sayangnya, hidupku tidak seperti banyak kisah roman picisan, disayang oleh ibu dari tokoh pria utama, tidak menjadikanku menantu idaman. Aku tahu, Ibu dan Mama tidak pernah membayangkan aku dan Kak Atha akan bersatu. Dulu, Kak Sera lah yang jadi menantu idaman Ibu. Aku tahu, Ibu sangat memuji Kak Sera dan berharap hubungan anaknya langgeng sampai maut yang memisahkan. Jangan-jangan, Ibu sakit begini karena sedih, gagal mendapatkan Kak Sera menjadi menantunya? Aku menggeleng mengeyahkan pikiran itu.
Tak tahu harus merespon apa dengan permintaan Ibu, aku memilih untuk mengalihkan pembicaraan. "Ibu selesain makannya dong." Aku menunjuk nampan makanan Ibu yang masih terisi setengah. "Siap itu kita makan dessert. Aku bawa martabak manis ketan item, nih." Aku menunjukkan bungkusan yang kubawa. Ibu tersenyum dan melanjutkan makannya.
![](https://img.wattpad.com/cover/155580363-288-k599427.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Wedding Ruiner
Storie d'amoreParticipant of MWM NPC 2020 Dosakah aku mencintaimu ? Peluklah aku, jangan menyerah Mereka bukan hakim kita - Dosakah Aku, Nidji.