—Wedding Ruiner—
Pergi memang tidak selalu menjadi jawaban. Terkadang perlu, tapi bukan satu-satunya jalan. Ada beberapa tanggung jawab yang lebih penting yang harus diselesaikan sebelum memutuskan pergi. Itu yang kudapat dari sesi terakhirku dengan terapis.
"Rayi bilang, aku butuh traveling."
Terapisku tersenyum. "Oh, jadi kamu mau traveling?"
"Iya, tapi aku mana bisa cuti."
"Oh." Wanita muda di depanku ini mengangguk. "Enggak bisa cuti. Kenapa?"
"Ya, kan udah terpakai, pas kemarin sakit. Lagi pula, kerjaanku masih banyak banget."
"Oh, kamu merasa bertanggung jawab dengan pekerjaan-pekerjaan kamu ya? Emang kamu mau liburan ngapain?"
"Ya pasti, dong. Aku harus bertanggung jawab dengan pekerjaanku. Kata Rayi, aku harus buka pikiranku. Cari perspektif dengan ngobrol bareng orang lain atau pelajari budaya asing. "
"Jadi, kamu mau liburan karena pengen cari sudut pandang baru? Dengan memperbanyak ngobrol dan belajar, gitu?"
"Iya! Padahal 'kan namanya belajar bisa dimana aja. Berbagi pengalaman juga bisa sama siapa aja," kataku. Sebenarnya bingung juga kenapa harus liburan.
"Oh, jadi, menurut kamu, tanpa liburan pun, kamu bisa ngobrol sama orang lain, bisa belajar tentang hal-hal baru?"
Aku mengangguk semangat ketika aku dimengerti oleh sang terapis. Perempuan ini tersenyum sangat lebar. Matanya membulat. Aku tanda ekspresi itu. Aku kembali memahami obrolan kami barusan. Aha. Aku tahu, bahwa sang terapis memberiku kode bahwa aku telah memecahkan masalahku sendiri. Kalau memang aku mau membuka pikiran, aku bisa mengobrol dengan siapapun dan dimanapun. Tidak perlu menunggu liburan. Terapis kembali membuatku mendapatkan insight. Insight adalah kondisi ketika sebuah solusi datang tiba-tiba setelah mengalami beberapa kali trial dan eror. Sesi terapiku memang fokus pada pembicaraan-pembicaraan seperti ini. Bukan melulu disiram kata-kata mutiara.
Setelah ini aku tahu tugasku, untuk mulai berkomunikasi. Selama ini aku payah dalam menyampaikan maksud. Lebih payah lagi menerima penjelasan orang lain. Aku terlalu keras dengan pemikiranku. Tak memperdulikan apa yang dilihat orang lain. Aku mempersepsikan dunia dengan asumsiku. Tak perlu susah payah bertanya mengenai yang sebenarnya.
Padahal, tidak mungkin orang tahu tanpa diberitahu. Mungkin, segelintir orang diberikan kepekaan dan daya nalar yang lebih. Namun, tidak pernah salah untuk mengekspresikannya secara langsung. Orang juga tidak mungkin ujug-ujug bercerita tanpa ditanya walau kamu sudah setengah mampus penasaran. Jika kamu ingin tahu, bertanya. Jika kamu ingin dimengerti, jelaskan. Sama seperti proses belajar mengajar di kelas. Penjelasan dan pertanyaan sangat dibutuhkan. Jadi, kali ini aku ditugaskan untuk mulai berbicara dan bertanya.
—Wedding Ruiner—
Menyanggupi tugas psikoterapiku, aku bertekat untuk mulai berbicara dan memahami. Setidaknya pada orang terdekatku. Aku harus mulai belajar mengerti mengenai situasi runyam ini. Sayangnya, keberanianku selalu menciut tiap dekat mereka. Jadi, aku memilih menyelesaikan masalahku pada orang yang relasinya paling jauh dulu. Seseorang yang tiba-tiba saja berhenti berkomunikasi denganku sejak pertengkaran terakhir kami.
Laki-laki itu sudah duduk di depanku. Gayanya necis seperti biasa. Lesung pipi kirinya sudah terbit sebelum netra kami bertubrukan. Di antara kami ada sebuah meja yang di atasnya terdapat dua cangkir kopi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wedding Ruiner
RomansaParticipant of MWM NPC 2020 Dosakah aku mencintaimu ? Peluklah aku, jangan menyerah Mereka bukan hakim kita - Dosakah Aku, Nidji.