BAB 17 - Sakit

4.5K 617 46
                                        

Aku bukan masokis. Aku tidak mendapatkan kesenangan dari rasa sakit. Namun, nyatanya, aku tetap mengorbankan diri walau aku tahu akhirnya hanya ada rasa sakit. Aku tidak bisa jauh dari kak Atha. Aku tidak bisa terbiasa dengan dia yang mendiamkan aku. Aku tidak bisa terbiasa dengan dia yang tidak tersenyum padaku. Jadi, aku hanya bisa berharap. Aku menggantungkan mimpi bahwa besok dia akan kembali seperti sedia kala. Jika tidak besok, mungkin besoknya lagi atau besoknya lagi dan besoknya lagi. Begitu seterusnya. Hingga harapan itu berdedai-dedai memporak-porandakan diriku, bertubi-tubi menerkam, menerjang, membinasakan hati yang tak punya kekuatan lagi. Jiwaku tak kalah babak belur, lelah menghadapi guntur, petir dan gulungan ombak ganas dari lautan emosi.

Semua semakin buruk saja saat mama mengetuk pintu. Ibu anggun ini tersenyum dan segera mendaratkan bokongnya di pinggir kasurku. Ada juga Avantika yang mengekor. Aku menarik napas. Entah kenapa perasaanku berkata aku harus mempersiapkan diriku untuk menghadapi patah hati yang kesekian kalinya.

"Rencana Mama berhasil, dong," deklarasinya penuh bangga. "Atha kayanya mau ngelamar Avantika." Mama memeluk Avantika, sedangkan gadis itu tertawa malu-malu.

Malaikat seakan telah meniupkan sangkakalanya khusus untukku. Aku bergetar. Duniaku runtuh dan reruntuhannya menindihku tanpa ampun. Aku terhimpit. Paru-paruku tak mengembang sempurna. Jantungku memompa angin. Bagai manusia yang telah menerima bahwa ini saat-saat terakhirnya, ia hanya akan tersenyum dan berpesan bahwa semua akan baik-baik saja. Tidak ada yang perlu disesali. Begitu pun aku yang berusaha membisikkan pada sukmaku bahwa semua akan berlalu dan berakhir indah. Padahal nyawa ini rasanya sudah siap melayang bebas.

"Kayanya?" Aku mengutip kalimat mama.

"Kode-kode gitu dianya. Kapan bisa ketemu orang tuaku. Aku tanya dong, mau ngapain. Terus dia bilang, if you let me, i will talk to your parents and ask their permission. But first, I'm gonna ask you, will you marry me? gitu katanya." Mata Avantika berbinar ketika mereka-ulang kejadiannya. Dia terlihat bahagia hingga melayang kelangit ketujuh. Sementara, cahaya dari dirinya malah menciptakan gerhana di hatiku.

"Itu bukan kode, Tika," cibirku.

Aku tidak yakin, poker face yang biasanya jadi keahlianku masih bisa mengelabui mereka. Aku berharap semua orang tetap tidak peka dengan perasaanku hingga akhir dan merusak semua momen ini. Semua orang tahu, tingkat akhir dari jatuh cinta adalah ketika kebahagian orang yang kamu cintai menjadi satu-satunya hal yang kamu inginkan. Jika memang Avantika yang Kak Atha mau dan bisa membuatnya bahagia, ya buat apa aku memperjuangkan perasaanku agar diketahui Kak Atha? Biar saja aku memendam semuanya. Aku menelan semua rasa yang perlahan mulai menggerogoti kewarasanku.

"Selamat, ya, Tika. Semoga berjodoh." Aku memeluknya. Suhu rendah tubuhku berbanding terbalik dengan suhu Avantika. Mama juga melesak bersama kami. Entah apa yang kami rayakan. Aku bisa merasakan ingar bahagia dari dua orang yang mendekapku erat. Harusnya keintiman ini hangat dan nyaman tapi aku merasa terbakar. Entah jika mereka bisa merasakan keapatisan jiwaku.

Ini harusnya berita bahagia. Bagiku, ini rasanya seperti melihat malaikat maut dengan mata kepala sendiri. Seram tapi tak berdaya untuk menjerit karena ternyata waktumu untuk berbicara sudah habis. Kita tak bisa mengelak kematian, setakut apapun kita menghadapinya. Sama seperti fakta ini. Aku tak bisa mengelaknya, meski sudah sejak dulu aku tak mau memikirkannya.

—Wedding Ruiner—

Hidupku setelah berita kemarin berlalu dalam mode repitisi. Api gairah telah padam. Motivasi diri hanya seutas teori. Aku berantakan. Datang bekerja, tapi banyak yang terlupakan. Hitungan terselip, prosedur terabaikan, dan keluhan nasabah datang bergantian. Atasanku menegur bahkan hampir melayangkan peringatan resmi, kalau saja dia tidak mencium keganjilan. Mataku kosong dengan lingkaran hitam yang kututupi dengan krim kecantikan. Bibirku kering harus dipermanis dengan warna merah jambu serta senyum terpaksa. Tubuhku lunglai. Lenganku tak menjabat dengan tegas.

Wedding RuinerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang