—Wedding Ruiner—Gila karena cinta.
Itu yang aku katakan ketika terapisku bertanya apa yang aku pikirkan tentang diriku. Sang terapis hanya tersenyum bijaksana. Dia menggeleng dan meluruskan bahwa aku tidak gila. Depresi bukan gila. Depresi merupakan bentuk ketidakteraturan mood yang bisa diakibatkan banyak hal. Tidak melulu pengalaman traumatis sadis. Bisa juga dari berawal dari tumpukan-tumpukan stresor lazim di kehidupan yang tak mampu diorganisir.
Pada kasusku, ketidaktepatan dalam meregulasi emosi bisa jadi satu dari banyak alasan mengapa aku sampai di posisi ini. Ini bukan tentang cinta yang tak berbalas saja, tapi semua aspek kehidupanku selama bertahun-tahun. Supresi emosi—menghambat dan menyembunyikan ekspresi emosi, misal dibanding marah-marah malah tersenyum—yang sering kulakukan berdampak buruk bagiku. Sejak dulu aku memang begitu, menyimpan semuanya sendirian. Paling malas membahas perasaan. Lebih suka menyendiri. Aku memang ceria karena aku malas diusik lebih dalam lagi. Bukannya bergitu? Bertingkahlah ceria dan semua orang berhenti mengusikmu.
Orang-orang menjelaskan fenomenanya dengan istilah bottled-up emotions. Sebuah teori yang menganalogikan emosi-emosi ini ditumpuk ke dalam sebuah botol yang bertutup. Terus menerus hingga akhirnya tak mampu menampung lagi dan meledak, pecah berkeping-keping. Menurut sang terapis, emosi yang terakhir masuk ke dalam botol adalah segala bentuk cinta tak berbalas itu. Sehingga, aku mempersepikannya sebagai alasan mengapa aku hancur seperti ini. Padahal, apa yang telah ada di dalamnya yang memperparah keadaan.
Kasusku ditemukan dalam kondisi ringan. Belum perlu terapi farmakologi. Cognitive behavioral therapy menjadi rencana terapi yang kujalani yang dipilihkan terapisku. Aku dibantu untuk menemukan diriku, menemukan cara mengatur emosi dan cara mengekspresikan perasaan yang tepat. Intinya aku dibantu untuk hidup lebih baik. Dibantu bukan didikte. Kata terapisku, aku harus menemukannya sendiri, dia hanya ada sebagai teman yang mendengarkan. Tugasnya hanya memberikan wawasan (insight) lewat percakapan-percakapan kami serta beberapa tugas yang perlu dilakukan. Tidak mudah memang, tapi dari beberapa pertemuan kami yang masih akan terus berlanjut, aku mendapat banyak pelajaran.
Aku mendesah lelah, menyadari bahwa perjalananku masih panjang dan tidak mudah. Apalagi, kryptonite-ku masih di sini dan akan selalu ada di sini.
Mengenyahkan pikiran tentang psikoterapi yang kujalani, aku mengembalikan fokus kepada kentang-kentang yang sedang kupotong. Sejak pagi mama sudah heboh di dapur membuatku mau tak mau ikut terlibat. Katanya hari ini Kak Rendi pulang dan membawa serta pacarnya. Mama bahagia sekali, karena ada anaknya yang akhirnya mulai serius memulai hubungan. What a dream comes true.
Tiba-tiba sepasang tangan menutup mataku. Aku berjengkit. Jemarinya ramping dan telapaknya halus. Wanginy juga manis. Aku menduga ini tangan wanita. Tapi siapa? Aku tidak menandai wangi ini. Aku melepas paksa tangan itu. Bergitu berbalik, aku berteriak menandai wanita di depanku.
"Rayi!!!!!" Aku menghambur ke pelukannya. Wanita kutilang—kurus, tinggi, dan langsing—ini terkekeh dalam pelukan kami. Kok dia bisa ada di sini sih? Aku sudah lama sekali tidak bertemu dengan sahabatku sejak SMA ini.
"Kok lo di sini?! Sama siapa?" Rayi tidak langsung menjawab. Dia malah terkekeh malu-malu. Di belakangnya, kulihat Kak Randi muncul. Kapan kak Randi datang? Eh ... tunggu-tunggu. "LO PACARNYA KAKAK GUE?" Rayi mengangguk semangat.
"ANJAY!" Aku tidak bisa menahan mulutku. "Jadi juga mimpi lo waktu SMA ya!" Rayi emang pernah naksir-naksir kucing sama kak Randi sewaktu SMA. Beruntungnya dia, bisa mendapatkan pria yang dia kagumi. Enggak seperti aku yang ... haduh, sudahlah. Fokus dulu pada masa kini, itu kata terapisku.
![](https://img.wattpad.com/cover/155580363-288-k599427.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Wedding Ruiner
RomansaParticipant of MWM NPC 2020 Dosakah aku mencintaimu ? Peluklah aku, jangan menyerah Mereka bukan hakim kita - Dosakah Aku, Nidji.