—Wedding Ruiner—
Aku keluar kamar saat kudengar tidak ada lagi tawa dari teras. Sepertinya, acara mereka sudah selesai. Sejak Kak Atha diceburkan ke dalam kolam renang, aku memilih masuk ke kamar. Aku menenangkan diri. Aku tahu, tidak ada waktu untuk berkubang dengan luka lagi. Rayi belum masuk ke kamar, pasti masih berdua-duaan dengan kakakku. Waktu aku melewati pintu menuju teras atas, benar saja, mereka masih bermesraan. Disambar setan baru tahu rasa. Aku berkomentar sendiri.
Aku menuruni anak tangga. Dapur jadi pilihanku. Dari tadi aku menahan haus. Hanya saja terlanjur mengaku akan segera tidur, aku enggan keluar kamar kalau mereka masih pada sibuk. Di dapur tidak ada orang. Tampaknya yang lain sudah kembali kepelukan kasur. Aku buru-buru mengambil air minum. Di rumah sendiri aja aku bisa takut bila ke dapur tengah malam, apalagi di tempat asing seperti ini. Saat aku berbalik, Kak Atha muncul dari kamarnya yang berada di lantai satu. Aku menahan napas melihatnya. Rambutnya masih basah, tapi dia tidak lagi kuyup. Aku tersenyum kaku ketika dia menyapaku seadanya.
"Kak," sapaku balik. Aku buru-buru kabur kembali ke atas dan mengurung diri di kamar.
Tak lama, ketukan pintu terdengar. Tumben banget, Rayi pakai ketuk pintu. Apa tadi aku kunci ya? Aku bangkit dan membuka pintu. Tidak terkunci, kok. Ketika papan kayu itu terbuka lebar, aku mundur satu langkah ketika menyadari yang ada di hadapanku adalah sosok jangkung yang barusan kuhindari.
"Ra, I think we need to talk."
Enggak ada yang harus dibicarakan 'kan? Oke, sebenarnya ada. Hanya saja aku tidak sanggup harus membahasnya sekarang. Namun, wajah di depanku ini benar-benar tidak sabar.
"May I?" tanyanya sambil melongok ke dalam kamar. Sedekat apapan aku dengan Kak Atha selama ini, kamar adalah ruang privasi yang tidak pernah kami jamah. Kak Atha tidak pernah masuk ke kamarku, sesering apa pun dia berada di rumahku. Bahkan, ketika dia menjemputku dari kantor saat aku sakit kemarin, bibi yang membawaku masuk ke kamar. Apalagi aku, tidak mungkin aku masuk ke kamar kak Atha. Walaupun sebenarnya saat ini kamar ini bukanlah kamarku yang sesungguhnya, tapi tetap saja 'kan? Walaupun begitu, menduga tentang apa yang akan kami bicarakan, memang ruangan ini yang memberikan kami privasi. Jadi, aku membiarkannya masuk.
That would be a mistake, right? Hatiku mulai ragu. Sesungguhnya, saat-saat seperti ini bukanlah saat yang tepat untuk dekat-dekat kak Atha. Nuraniku mulai enggan untuk kembali berhubungan dengannya.
Masalah akan selesai kalau dihadapi. Logikaku mencoba menenangkan. Aku kembali menerapkan teknik pernapasan untuk membuat tubuhku rileks. Kutatap kak Atha yang duduk di kursi meja rias. Sementara, aku memilih duduk di pinggiran tempat tidur. Semakin jauh jarak kami, semakin baik.
Kak Atha menatapku balik, tapi hanya sebentar. Dia membuka kacamatanya dan memijat matanya. Dari mata, tangannya berpindah mengusap dahinya lalu menyugar rambut dan menariknya pelan sambil menggaruknya. Dia tampak lelah dan bingung sekaligus. Aku sendiri pun tak kalah bingung. Mungkin aku bisa menebak, tapi aku tidak bisa benar-benar tahu arah pembicaraan kami.
"Kakak mau ngomong apa? Mau curhat?" Aku berusaha mengalihkan pembicaraan. Ini suasana tertegang sekaligus rikuh antara aku dan kak Atha yang pernah aku rasakan.
Kak Atha menggeleng. Ia meletakkan kedua sikunya pada meja rias yang ada di belakangnya. Kini, dia mendongakkan kepala. Kalau satu setengah jam yang lalu, pria ini tak lekang menghujamku dengan netranya, kali ini dia bahkan tak berani melihat ke arahku lebih dari dua detik. "Where do I have to start?"
Eh? Aku pun tidak tahu, Kak. Ada apa sih dengan kita saat ini? Pertanyaannya malah menimbulkan pertanyaan di kepalaku.
Kak Atha mengerang. "Okay, there's no turning back. I think I love you, Ra. There. I said it." Kak Atha mengucapkannya dalam satu napas.

KAMU SEDANG MEMBACA
Wedding Ruiner
RomanceParticipant of MWM NPC 2020 Dosakah aku mencintaimu ? Peluklah aku, jangan menyerah Mereka bukan hakim kita - Dosakah Aku, Nidji.