BAB 24 - Berbeda

4.8K 653 13
                                    

—Wedding Ruiner—

Aku pulang ke rumah yang keadaannya tidak ada orang. Jarang-jarang seperti ini. Hanya saja aku tidak heran, karena kedua orang tuaku, Avantika dan Kak Pandu sudah berangkat ke Jogja tadi pagi. Sementara, Kak Rendi masih ada di Bandung. Awalnya, hanya mama yang ingin mengantar Avantika ke Jogja untuk mengurus pernikahannya yang akan terlaksana—tepat pada hari ulang tahun Kak Atha, 30 Desember—bulan depan. Rencananya mereka akan berangkat dengan pesawat. Hingga papa menyeletuk kalau road trip akan terasa seru. Akhirnya, Kak Pandu yang menjadi tumbal sebagai supir. Mama sempat akan membatalkan semuanya ketika pada saat yang bersamaan Bibi meminta jatah cuti karena ibundanya meninggal. Mama tidak mau meninggalkan aku sendiri. Dengan segala argumen yang bisa kukeluarkan, aku berhasil membuat mama tetap pada rencananya.

Aku baru selesai memastikan semua pintu terkunci ketika mendengar suara grasak-grusuk dari Arsier. Perasaan, saat pulang tadi, Arsier sudah gelap sepenuhnya. Artinya tidak ada lagi orang di sana. Begitu pun tidak ada lagi kendaraan selain milik rumah ini. Aku merinding sendiri. Menyesal juga menyuruh Pak Amir pulang ke rumahnya, padahal Mama sudah mewanti-wanti agar Pak Amir membantu menjaga rumah. Perlahan-lahan, melalui anak tangga dari dalam rumah yang khusus menuju Arsier, aku mengendap masuk ke dalam kantor. Dari ambang pintu, secercah cahaya keluar dalam kamar istirahat pegawai. Beberapa drafter sering lembur hingga menginap di kantor sehingga kak Pandu memberikan mereka ruang istirahat khusus. Apa ada yang menginap?

"Assalamualaikum." Aku mengucapkan salam. Aku melangkah masuk lebih dalam lagi. Kembali kuucapkan salam. Pintu kamar berdecit. Aku siaga sepenuhnya. Ketika sosok yang keluar dari dalam kamar adalah sosok jangkung yang sangat kuhapal perawakannya, aku mengembuskan napas lega.

"Kak Atha! Kirain siapa. Bikin takut aja sih. Ck!" Aku berdecak.

"Hei, Ra. Sorry, deh." Dia terkikik.

"Kakak lembur?" Kak Atha menggeleng. Aku mengernyit. Jadi, sedang apa dia di sini? Ah! Jangan bilang..., "Kerjaan Mama atau Kak Pandu, nih? Pasti kakak disuruh-suruh lagi kan sama mereka buat di sini?"

"Ngg...." Kak Pandu menggaruk tengkuknya. "Ya... gitu tapi ya enggak juga."

"Gimana sih?" Aku memberengut. Dengan melipat tangan di dada dan mengempaskan bokongku di sofa kulit berwarna hitam yang ada di tengah-tengah ruangan. Kak Atha menyusulku. Ia duduk di sampingku, tapi berbeda sofa. Pandangannya teduh.

"Ya, Pandu bilang kalau mau nginep ya nginep aja, si Ara juga sendiri gitu. Tapi dia enggak maksa kok."

Aku menatap Kak Atha karena merasakan hal yang berbeda. Hawa yang menguar dari tubuhnya terasa panas. Napas yang keluar dari mulutnya saat ia berbicara juga lebih hangat. Kulihat matanya merah dan hidungnya beler. Aku menyentuh lengannya yang bersandar di lengan sofa di antara kami. "Kakak sakit?"

"Flu dikit. Makanya tadi, aku enggak bawa kendaraan. Cuma karena Pandu enggak di kantor mau enggak mau aku harus di sini. Aku udah tiga hari enggak tidur, Ra."

Aku membelalakkan mata. "Ibu ya?" Kak Atha mengangguk. Beberapa minggu ini Ibu semakin memburuk. Tiga hari lalu Ibu sempat lolos dari rumah di tengah malam, untung ada satpam komplek yang sedang berjaga malam melihatnya jalan sendirian. Sejak saat itu, aku dengar seluruh rumah harus di kunci dan kuncinya di simpan—tidak tergantung di lubang kunci.

"Aku tuh, enggak bisa tidur kalau di rumah. Denger suara-suara dikit langsung awas takut Ibu lolos lagi." Aku melengkungkan bibir ke bawah, turut iba dengan kondisi kak Atha.

Wedding RuinerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang