•DUA PULUH EMPAT•

1.3K 72 0
                                    

[Edisi Revisi 23.06.19]

Bruk.

"Aduuhhh!" pekik Sandra ketika pantatnya telah mendarat mulus di lantai di depan pintu kelasnya.

"Lo kalo mau buka pintu liat-liat dong Dit." ucap Sandra pada Adit yang menyebabkan dirinya terjatuh.

"Ye maap. Gue gak tau kalo elo ada di sini." Adit malah tertawa melihat raut kesakitan Sandra. Gadis itu bisa jatuh terduduk di lantai karena saat akan membuka pintu kelas yang tertutup, tiba-tiba saja Adit membuka pintu itu dari dalam kelas hingga membuatnya terjatuh di lantai.

"Lagian, tumbenan lo jatuh gitu aja bilang sakit." ucap Adit.

"Badan gue sakit semua gegara tarik tambang kemarin." Adit kembali tertawa mendengar ucapan Sandra.

"Sukurin." Sandra memukul kepala belakang Adit hingga membuat laki-laki itu mengaduh.

"Lo kok pake olahraga? Bukannya kemarin kalah ya kelas kita volinya?" tanya Sandra heran.

"Gue disuruh gantiin Rizki basket. Dia gak berangkat hari ini." Sandra hanya mengangguk.

"Eh Dit, kelas sebelah masuk final ya?" tanya Sandra.

"Iya. Kan kemaren mereka yang memang pas lawan kelas kita."

"Udah deh, gue cabut dulu." Adit berlari meninggalkan Sandra.

Satu fakta didapatkan. Doa Sandra kemarin ternyata terkabul. Kelasnya kalah saat melawan kelas IPA 4. Jadi, apa kita perlu memberi tau Adit dan rekan setimnya jika Sandra sempat berdoa agar mereka kalah?

Gadis itu melangkah memasuki kelas yang tidak terlalu ramai karena banyak penghuninya yang masih mengikuti lomba maupun hanya untuk menonton di lapangan.

Ada beberapa temannya yang sedang berkumpul, entah membicarakan apa di sudut belakang kelas. Sandra langsung duduk di meja hingga membuat terkejut teman-temannya.

"Ke lapangan yuk." ajaknya.

"Ngapain?" tanya Ayu.

"Mandi! Ya nonton yang pada tanding lah, cuci mata gitu. Kakak kelas di sini kan bikin mata seger."

"Cuci mata mulu lo. Gak ada kerjaan lain apa?" sahut Anggi.

"Emang lo pada gak bosen dari tadi di kelas terus?" tanya Sandra.

"Ayok lah. Gue juga pengen keluar kelas, bosen." Eva beranjak dari duduknya.

"Yuk ah, yang lain mah tinggal aja. Ntar juga ngikut sendiri." Sandra berjalan bersama Eva keluar kelas. Meninggalkan teman-temannya yang lain.

"Gue juga mau ngikut ah." Putri juga beranjak dari duduknya dan menyusul Sandra dan Eva yang telah berjalan di depan.

---

"Wuih, bener kata Sandra. Gak nyesel gue ikut ke sini." ucap Fara antusias saat dirinya beserta beberapa teman-temannya berada di dekat lapangan voli untuk menonton pertandingan final kelas X.

"Lo gak mau nonton basket San? Kan kalo yang basket biasanya lebih wow." ucap Putri.

"Sekarang masih kelas sepuluh, kalo yang wow itu kan yang kakak kelas. Jadi, nonton ini aja dulu. Di sana juga masih rame." alasan Sandra yang sebenarnya adalah karena pertandingan final voli kelas sepuluh adalah kelas IPA 4, yang berarti ada dia.

Namun Sandra tak menemukan keberadaan laki-laki itu, padahal matanya telah menyapu seluruh penjuru lapangan voli. Ia hanya melihat Aldi yang sedang bermain di tengah lapangan dan Dimas yang sedang duduk di bawah pohon rambutan di sisi kiri lapangan. Para pemain voli kelas IPA 4 memang masih sama seperti kemarin, hanya saja kemarin Bima ikut bermain namun sekarang rupanya ada siswa lain yang menggantikannya.

Masa dia gak berangkat lagi sih? Dia sakit lagi kali ya? Tapi emang dia sakit apa? Sandra menghela napas. Niatnya pergi ke lapangan adalah untuk menonton laki-laki yang akhir-akhir ini masuk dan menerobos ke dalam pikirannya. Namun laki-laki itu malah tidak tampak batang hidungnya.

Padahal niat gue ke sini buat nonton dia, eh malah dianya gak ada.

"Gue ke kelas ya. Pusing pala gue." pamit Sandra sambil berdiri dan mulai melangkah meninggalkan lapangan.

"Masa gue juga harus nyari tau sih dia sakit apa sih." gerutu Sandra saat berjalan menuju kelasnya.

"Hai Sandra." suara tersebut membuat Sandra mengangkat kepalanya.

Di depannya berdiri seorang perempuan.

"Hai."

Ketemu mantannya dia lagi. Eh, bukannya waktu itu mereka masih gandengan ya? Mesra-mesraan lagi. Apa bener dugaan gue kalo mereka balikan, bukan mantan lagi. Gadis itu mendengus kasar.

"Lo dari mana?" Siska bertanya saat Sandra masih sibuk dengan pikirannya.

"Eh-em itu, dari lapangan." Sandra yang baru saja kembali ke alam sadarnya menjawab pertanyaan Siska.

Namun tiba-tiba Siska menampilkan seriangai di wajahnya dan menatap Sandra dari bawah ke atas, seperti menilai penampilannya.

"Gue denger-denger lo suka sama Bima. Bener?" tanya Siska yang kini telah melipat tangannya di depan dada masih dengan seringai di wajahnya.

Sandra melebarkan matanya. Terkejut? Tentu saja. Namun kini ia jadi bertanya-tanya dalam hati. Mengapa Siska menanyakan hal ini padanya?

"Kalo lo gak bener-bener suka sama dia, gue minta sama lo buat jangan suka lagi sama Bima. Inget kata-kata gue kalo lo emang gak beneran suka sama dia." Siska langsung melangkah pergi begitu saja setelah mengucapkan itu.

"Kenapa dia bilang gitu? Apa bener ya kalo dia masih pacaran sama Bima." ucap Sandra pelan kemudian melanjutkan langkahnya menuju kelas dengan pikiran yang masih tertuju pada sosok Siska dan Bima.

"Terus gue sekarang mau ngapain?" Sandra malah menjadi bingung sendiri ketika sampai kelas. Karena keadaan kelasnya sangat sepi, bahkan hanya ada dirinya di sana.

"Tidur aja lah. Ngantuk juga."

~~~

Cklek

Pintu ruangan terbuka menampilkan seorang pria dengan jas putih yang melekat di tubuhnya. Pria itu tersenyum menatap seorang laki-laki yang tengah terbaring di atas brankar dengan sebuah selang yang tertancap pada lengan kirinya.

"Bagaimana Bi, masih terasa sakit?" pria itu bertanya pada laki-laki yang sedang memainkan ponselnya.

"Masih lemes Dok." jawab laki-laki itu.

"Kamu berdoa saja, semoga ini tidak semakin parah. Oh iya, saya tadi bertemu ibu dan adikmu di depan. Katanya mereka mau membeli makan untuk adikmu." laki-laki itu hanya mengangguk.

"Kalau begitu saya keluar dulu. Kamu boleh pulang jika infus itu sudah habis."

"Terimakasih Dok." ucap laki-laki itu yang hanya dibalas senyum oleh sang dokter.

"Kalau diperhatikan, wajah dokter mirip sama dia ya? Atau memang hanya perasaan gue aja?" gumam laki-laki itu. Entah apa yang membuatnya berpikir demikian. Atau karena sedari tadi ia sedang memikirkan gadis itu?

Gadis yang telah mencuri perhatiannya sejak pertama kali mereka bertemu. Gadis yang selalu tertangkap basah sedang mencuri pandang padanya. Dan gadis yang membuat detak jantungnya meningkat pesat walau hanya mendengar namanya.

"Gadis yang unik dan berbeda dari yang lain." ucapnya sambil menarik sebuah senyum pada bibir pucatnya.

"Kamu kenapa senyum-senyum sendiri Bi? Terus, apa tadi? Gadis?" ucapan seseorang membuat laki-laki itu tersadar.

"Enggak kok, nggak ada." elaknya.

"Mikirin cewek ya? Siapa? Pacar kamu? Cerita-cerita dong." goda pria itu.

"Pacar apaan sih? Orang gak ada pacar juga."

"Iya deh. Padahal ayah tau kalau kamu lagi bohong."

Pacar? Laki-laki itu berpikir.

Apa seandainya jika gadis itu tau jika ia menyukainya, mungkinkah gadis itu akan menerima keadaannya? Mungkinkah gadis itu akan menerima dirinya dengan segala kekurangannya?

Sifat gadis itu bahkan sangat bertolak belakang dengan sifat dan kelakuannya.

*****

10 Mei 2019

ABIMANYU✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang