•TIGA PULUH EMPAT•

1.3K 65 5
                                    

[Edisi Revisi 24.06.19]

Mati. Lampu operasi di dalam ruangan tersebut telah padam dan kini hanya tersisa lampu ruangan yang masih menyala. Memberikan penerangan di dalam ruang operasi tersebut.

Para dokter dan perawat mengucap syukur karena operasi yang berjalan selama kurang lebih enam jam itu berhasil dilaksanakan.

Salah satu dokter lantas keluar untuk menemui keluarga pasien, sementara dokter dan perawat lainnya masih berada di dalam ruangan untuk memeriksa kondisi pasien pasca operasi.

Cklek

Pintu ruangan terbuka, membuat beberapa orang yang tadinya duduk di kursi langsung berdiri dan merapat.

"Bagaimana operasinya Dok?" tanya salah satu pria di antara beberapa orang tersebut.

Wijaya tersenyum. Membuat orang-orang tersebut bingung dengan maksud dari senyum tersebut.

"Alhamdulillah, operasinya berjalan lancar." semua orang langsung mengucap syukur karena kalimat tersebut. "Tapi kami belum bisa memastikan kapan Abi akan sadar. Kita berdoa saja, supaya Allah memberikan kesempatan untuknya. Kami para dokter hanya bisa melakukan hal ini sampai sejauh ini, namun bila Allah berkata lain kita hanya bisa pasrah. Yang Abi butuhkan saat ini adalah doa kita." ucap Wijaya. Berusaha membuat orang-orang tersebut tidak merasa sedih karena ucapannya.

Matanya kemudian melirik satu-satunya gadis yang ada di dalam kelompok tersebut. Ya, itu adalah anak semata wayangnya. Pria itu kemudian mendekat. Menarik tubuh sang anak ke dalam dekapan hangatnya.

"Makasih Pa." ucap Sandra yang suaranya tenggelam dalam dada sang ayah.

"Udah tugas Papa sayang. Kamu doain aja ya. Papa tau, dia mungkin bukan sekedar temen kamu." Wijaya berusaha menghibur sang anak dengan kalimat terakhirnya. Dan itu cukup berhasil, karena Sandra langsung mencubit lengan pria yang sedang mengelus puncak kepalanya itu.

"Dia cuma temen San Pa." balas Sandra tak terima.

"Iya-iya." Wijaya melepaskan pelukannya dan kembali menghampiri beberapa orang yang masih tampak sedih itu.

"Pak Lutfi, seperti yang saya katakan tadi, operasi ini memang berjalan lancar. Tapi belum tentu tubuh Bima bisa menerima ginjal barunya. Jadi, kita semua harus bersabar dan terus berdoa agar Bima bisa menerima ginjal barunya."

Detik berikutnya, dua orang dokter yang tadi melakukan operasi transplantasi ginjal bersama Wijaya juga telah keluar ruangan. Meninggalkan para perawat yang masih terus memantau kondisi Bima.

"Kita perlu berdoa dan pasrahkan semua pada Allah. Kami hanya bisa sampai sejauh ini dalam menangani Bima." ucap Ruli, salah satu dokter yang yang seumuran dengan Wijaya.

"Kalau begitu kami permisi dulu. Perawat akan terus memantau kondisi Bima." kini Eka, dokter yang masih menginjak usia tiga puluhan itu ikut bersuara.

"Kamu mau ikut Papa atau tunggu di sini San?" Wijaya kembali mengelus puncak kepala anaknya.

Sandra menatap Doni. Ia memang tadi langsung menuju ke rumah sakit setelah pulang sekolah dengan membonceng Doni.

"Lo ikut Om aja, biar gue balik sendiri." ucap Doni yang mengerti maksud tatapan Sandra.

"Om, Tante. Saya pamit dulu ya, nanti saya pasti nengokin Bima lagi kok. Dim, Di." ucapan Sandra hanya dibalas anggukkan kepala oleh mereka berempat.

Gadis itu kemudian berjalan bersama Doni dan Wijaya. Setelah sebelumnya Doni juga berpamitan pada orang tua dan juga sahabat Bima.

"Saya pamit pulang dulu Om," pamit Doni pada Wijaya ketika mereka akan berpisah di ujung lorong rumah sakit.

"Iya, hati-hati Don." Doni kemudian melanjutkan jalan ke arah kanan, sedangkan ayah dan anak itu ke arah kiri.

⚀ ⚀ ⚀

"TOM!" Sandra menoleh. Merasa terpanggil, walaupun yang diserukan bukanlah namanya.

"Kenapa?" tanyanya. Ia melihat di belakangnya ada dua orang laki-laki yang berlari menuju ke arahnya.

"Loh-mauh-ikut-nggak?" tanya Aldi dengan nafas yang masih tersengal karena berlari.

"Ikut ke mana?"

"Baru aja Om Lutfi ngasih tau gue kalo Bima udah sadar." ucap Dimas sontak membuat Sandra bersorak senang.

"Gue ikut." serunya semangat.

Tiga remaja itu kemudian berlari menuju parkiran motor yang masih ramai. Sandra memilih membonceng Aldi, sedangkan Dimas sendirian dengan motornya. Mereka kemudian meninggalkan area sekolah untuk menuju ke rumah sakit.

Tiga puluh menit, waktu yang diperlukan oleh ketiga remaja tadi untuk bisa sampai di rumah sakit setelah melewati beberapa titik kemacetan.

Terlihat tiga orang yang berada di depan ruang rawat Bima. Mereka adalah orang tua dan adik laki-laki tersebut.

"Gimana Om, Bima udah sadar?" tanya Sandra langsung ketika ia telah sampai di sana.

Lutfi menoleh, menatap ketiga remaja yang masih mengenakan seragam sekolah mereka. "Tadi kata perawatnya udah, tapi sekarang dokter masih meriksa keadaannya."

Tak lama berselang, Wijaya telah keluar dari ruangan tersebut dengan senyum yang merekah di wajahnya.

"Bagaimana kondisi Bima Dok?" tanya Ana tanpa basa-basi.

"Alhamdulillah, Allah telah mengabulkan doa kita semua." pria itu memberi jeda pada ucapannya. "Bima sudah sadar, namun kondisinya masih belum stabil. Kami pun masih terus melakukan pemeriksaan pada tubuhnya. Jadi, jika kalian ingin menjenguk, saya minta satu per satu agar Bima tidak merasa terganggu nantinya." ucapan syukur langsung terlontar dari mulut orang-orang yang berada di sana. Ana bahkan sampai meneteskan air matanya karena senang, anak sulungnya bisa kembali sadar.

"Kalau begitu saya pamit dulu Pak Lutfi, Bu Ana." ucap Wijaya. "Papa pergi dulu ya sayang, kamu kalau mau pulang bilang Papa aja." Sandra menganggukkan kepalanya dengan senyum yang masih belum pudar dari wajahnya.

"Tante duluan yang masuk gak papa kan?" ucap Ana.

"Gak papa kok Tante," jawab Sandra, Aldi, dan Dimas hampir bersamaan.

"Iya, kamu masuk aja dulu, biar aku yang beliin makan siang buat kamu sama Al." Lutfi mengelus puncak kepala istrinya sebelum wanita itu melangkah memasuki ruangan Bima.

"Om, biar kita aja yang jagain Alsya. Om beli makan aja." ucap Dimas.

"Beneran? Kalian gak repot?"

"Enggak kok Om. Ayo Al, main sama Kak Aldi." Aldi mengulurkan tangannya yang langsung disambut oleh gadis kecil itu.

"Yaudah, kalau gitu Om tinggal dulu ya. Om titip Al sebentar." Lutfi kemudian melangkah menjauh dari ketiga remaja itu.

"Kita ke taman ya Al," Aldi berkata sambil sesekali mencium pipi chubby Alsya dengan gemas.

Sandra menghentikan langkahnya saat menyadari jika ponsel di dalam saku roknya bergetar. "Eh, lo berdua duluan aja. Entar gue nyusul." ucap Sandra pada Aldi dan Dimas.

Sandra membuka ponselnya dan langsung terpampang nama Doni dalam urutan teratas chat WhatsApp miliknya.

Doni
Lo di mana San? Kok gak ada di rumah?

Gue di RS.

Doni
Ngapain? Nyusulin Papa Lo?

Enggak. Bima udah sadar.

Doni
Tunggu, gue nyusul ke sana.

Sandra kembali memasukkan ponselnya ke dalam saku rok kemudian melanjutkan langkahnya menuju taman rumah sakit.

*****

10 Juni 2019


ABIMANYU✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang