24 : nanonanonano

1.1K 140 64
                                    

Banana meremas pelan kotak P3K di tangannya. Pandangannya tertuju pada laki-laki yang tengah bersandar di tembok depan UGD dengan kepala tertunduk. Menghela napas pelan, Banana kembali melangkah dengan perasaan campur aduk. Ia sungguh tak menyangka Natta akan semarah itu padanya.

Satu-satunya fakta yang masih mengejutkannya adalah, mereka berdua saudara!

Rasa penasarannya kini terjawab sudah. Alasan keduanya tidak akur karena masalah keluarga mereka. Entah masalahnya apa, Banana tidak tahu. Ini bukan waktu yang tepat untuk bertanya.

“Nat, di obatin dulu,” Banana berdiri di depan laki-laki itu.

Namun,

hembusan angin yang menjawab pertanyaan Banana. Malam yang sepi semakin menambah kesunyian, dan hawa dingin semakin kurang ajar menusuk-nusuk pori-porinya.

Banana menggesekkan gigi-giginya, tidak tahu harus berbuat apa. Natta tidak pernah seperti ini. Dia cerewet dan menyebalkan. Di abaikan seperti ini sungguh membuat jantungnya serasa di remas dengan kejam.

Banana sendiri tidak tahu siapa yang salah disini. Namun keterdiaman Natta memaksa dirinya untuk mengakui bahwa dirinya lah yang salah. Benar. Tidak ada tempat untuk dirinya yang salah. Sekuat apapun ia membela dirinya, itu akan terdengar omong kosong. Natta tidak akan memercayainya dalam keadaan emosi yang tengah menguasai akalnya.

“Maaf. Itu nggak seperti yang kamu lihat.” Banana hanya bisa mengatakan itu walau ia yakin Natta tidak akan mendengarkan.

Benar saja. Natta tetap pada posisinya  layaknya patung yang tertiup angin.

“Nat.... Ngo-mong dong...” suara Banana bergetar. “Kamu boleh maki aku sepuasmu. Tolong bicara....” sekuat tenaga Banana menahan isakkannya.

Natta tetap tidak bergerak sedikitpun.

Banana menunduk, menarik nafas dalam-dalam, kemudian mengusap air matanya yang kembali keluar. Ia lantas memilih duduk di bangku saja. Percuma saja, Natta ingin bicara dan mendengarkannya.

Rasanya sungguh menyesakkan ketika orang yang biasanya menyambutnya, tiba-tiba menjauh dari kita. Itu sulit Banana terima.

Selama mereka dekat, tak sekalipun Natta semarah ini padanya meski dirinya sering memakinya. Natta orang yang santai dan konyol, bukan orang menyeramkan seperti beberapa menit yang lalu. Setidaknya itu yang Banana tahu.

Suasana kembali sunyi. Pandangan Banana hanya tertuju pada pintu di depannya. Sudah setengah jam mereka di sana dan pintu UGD belum juga terbuka. Apakah separah itu?

Banana memilin susunan dressnya dengan isakkan yang di sembunyikan. Andai ia menolak ngobrol dengan Bima, mungkin kejadian ini tidak akan terjadi. Natta tidak semarah ini padanya dan Bima tidak akan sekarat karenanya. Tapi, mana tahu kejadiannya akan seperti ini?

Suara ponsel Banana membuyarkan keadaan yang hening. Ia lantas merogoh benda tersebut dari dalam clutch bag di tangannya. Nama Ibunya terpampang jelas di layar handphonenya.

Menelan ludah gugup, Banana mengangkat panggilan tersebut.

“Hal-hallo mami,”

“Ya ampooooonnnn!!! Why-why? Kenapah Bima di pukulin?” suara ibunya melengking hingga Banana menjauhkan sedikit ponselnya dari telinga. Yang Banana lakukan selanjutnya ialah melirik canggung pada Natta.

Dia tetap seperti patung. Datar dan kaku.

Banana menghela napas pelan, “udah deh, Mi. Nggak usah heboh.”

“Mama denger you main affair-affair, ha? Kamu punya boifren gak cerita-cerita ke mami ya?! And why, Bima yang jadi korban? Kamu gak mungkin affair sama Bima kan? Coba you explain ke Mami! Cepetan!" suara Ibunya lancar seperti kereta malam.

PC (Perangkat Cinta)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang