Wait what?
“Udah selesai makannya?”
Banana menatap Natta dengan kebingungan.
Demi Tuhan, ia tidak tahu apa maksud Natta. Di sentuh? Kapan Zico menyentuhnya?
“Oke, udah selesai.” Ujar Natta saat menegakkan punggungnya seolah bersiap untuk melakukan sesuatu. Sementara Banana hanya berkedip saja memperhatikan pergerakan Natta. Ia masih dalam kondisi otak tercecer kemana-mana.
Di tengah acara kebingungannya yang tidak berujung, Banana memekik terkejut ketika tiba-tiba tubuhnya terangkat.
“A-aku belum selese makannya.” Protesnya, beralasan.
Selain otaknya belum nyambung dengan apa yang Natta bicarakan, Banana belum siap kembali lagi ke ranjang yang sama dengan Natta. Ini sangat canggung baginya.
“Udah nggak enak. Kelamaan kamu tinggal bengong.” Kata Natta, dengan suara rendahnya.
Banana gugup tetapi ia mengencangkan pengangan tangannya di leher Natta. Kedua bola matanya tidak mau berpapasan dengan Natta dan berpura-pura tak tahu netra gelap itu yang tak lepas dari wajahnya.
“Soal yang tadi malam, aku sudah maafin.” Natta melanjutkan ketika merebahkan tubuh Banana di tempat tidurnya.
Banana sudah tidak memikirkan soal apa yang Natta bicarakan. Bodo amatlah tentang ia di sentuh oleh siapa. Banana tidak ingat apapun, jadi ia tidak mempermasalahkan itu. Yang jadi masalah adalah sekarang ini. Ia kembali di ranjang yang sama dengan Natta.
Oh ya ampun, ini sungguh canggung! Ah lebih tepatnya hanya dirinya saja yang merasa canggung sedangkan Natta biasa saja. Banana belum siap melakukannya lagi dalam keadaan sepenuhnya sadar .
“Kenapa tegang gitu?” Natta berbaring miring di sampingnya dengan satu tangan yang mengangga kepalanya. Tangannya yang bebas membelai pipi mulus Banana dengan lembut.
Tubuh Banana berdesir hebat akibat tanggan Natta yang membelainya penuh godaan.
“Nggak,” jawabnya yang kemudian Banana mengutuk diri sendiri karena suaranya tidak ada bedanya dengan marmut kejepit.
Pemandangan lucu itu mengundang kekehan Natta. “Santai aja, sayang.” Katanya, terlampau lembut.
“Apasih,” Banana menyingkirkan pelan tangan Natta dari rahangnya.
Selalu saja jantungnya tidak mau selow setiap kali Natta memperlakukannya sangat manis. Begitupun dengan organ-organ tubuhnya yang melemah seolah tulang-tulangnya berubah wujud menjadi jelly. Untung saja Banana tengah terbaring di atas tempat tidur. Jika tidak, mungkin ia sudah terkapar bebas karena tidak bisa menyangga tubuhnya.Mungkin jika bisa mengekspresikan dengan benar, Banana sudah meleleh, mencair, melebur, dan mungkin terbang bersama angin.
Hadoh! Lebay sekali, mak!
.
Natta sadar dirinya telah berada di ambang kewarasannya. Ia tertawa geli melihat wajah Banana yang lebih mirip dengan kanebo kering. Kaku dan tegang. Matanya cukup jeli untuk menangkap setiap inci gerak-gerik kekasihnya. Karakter Banana terlalu mudah di tebak. Pacarnya ini adalah seorang yang memegang teguh gengsi dan ego, padahal di balik itu dia mudah terbawa perasaan.
“Kenapa ketawa?”
Natta menyisakan senyumnya, “kamu cantik.” godanya, tidak nyambung.
“Dih, nggak jelas.”
Lagi, Natta tersenyum. “Apa kamu menyesal?”
Tahan napas....
Banana tidak langsung menjawab pertanyaan tersebut, ia sibuk berfikir kata apa yang tepat untuk menjawabnya. Karena sejujurnya ia tidak menyesal, hanya saja Banana tidak bisa mengatakan itu dengan lantang. Lidahnya tidak selincah itu. Banana butuh kata lain yang lebih tepat.

KAMU SEDANG MEMBACA
PC (Perangkat Cinta)
General FictionPC disini bukan personal komputer, bukan pula perangkat komputer. Lebih tepatnya Perangkat Cinta. Iya, cinta itu butuh perangkat, layaknya personal komputer. Misal perangkat alat sholat di bayar tunai, terus SAH! ***** Bertemu kembali dengan mantan...