Mobil hitam milik Mario berdecit tepat didepan sebuah rumah bernuansa putih. Maya yang duduk disamping kemudi menatap Zali menyelidik.
Merasa ditatap dari samping, Zali menoleh. Balas menatap Maya dengan senyuman khasnya "Masuk dulu yuk" Ajaknya setelah melepas sitbelt nya.
Mario sengaja meminjamkan mobilnya untuk Zali menuntaskan urusan besarnya.
"Ngapain..."
"Sssttt... Nurut aja!" Zali beranjak dari kursi kemudinya, meninggalkan Maya yang masih termangu ditempat.
Bagaimana sekarang? Ia masih belum cukup mental untuk bertemu calon mertuanya. Bagaimana nanti jika...
Maya tersenyum menggelengkan kepala menepis selintas pikirannya yang tidak-tidak.
"Kenapa senyum senyum gitu?" Ia tersentak, sejak kapan Zali membukakan pintu untuknya?
Tersadar, ia segera turun dan menunduk menyembunyikan rona merah dan seutas senyumnya. Ia berjalan dibelakang lelaki itu, sambil sesekali tersenyum dibalik punggungnya.
Pintu depan terbuka, ruang tamu yang cukup besar menyambutnya. Tak jauh berbeda dengan ukuran dirumahnya. Hanya saja disini nuansa islaminya lebih terasa.
"Assalamualaikum Bun" Seorang wanita paruh baya menyambut mereka dengan ekspresi yang Maya yakin artinya 'Itu siapa?'
Tanpa ia mau jantungnya berdetak lebih cepat. Hanya dengan melihat wajah Bunda Zali saja nyali Maya menyiut. Bagaimana tidak, penampilan Bundanya yang tertutup berbanding terbalik dengan penampilan kesehariannya selama ini. Untung saja kali ini dia masih memakai seragamnya lengkap dengan jilbab. Kalau tidak, mau taruh dimana imagenya sebagai calon menantu keluarga ini.
Ditambah lagi parasnya yang cantik, kulit putih bersih.
Pantes Bang Jali cakepnya kelewatan, orang indukannya juga bening gini Batinnya
"Wa'alaikumsalam.." Zali menyalami Bundanya, tak ingin dicap sebagai calon menantu durhaka, ia pun turut menyalami Bunda Zali. Tak lupa senyum manis ia tampilkan dihadapan wanita yang ia anggap calon mertuanya itu.
Lagi-lagi jantungnya memompa tak karuan. Ini adalah kali pertama ia merasa grogi ditatap oleh seseorang. Apalagi orang itu tak lain baginya adalah calon mertua.
"Temen kamu?" Tanya Bunda Zali lembut.
Rasanya ia ingin membenturkan kepalanya keras-keras. Betapa bodohnya ia tak mengaca terlebih dulu untuk berharap pada lelaki alim seperti Zali. Dari hal-hal kecil saja, ia tak sebanding dengan keluarga Zali. Cara bicara dan cara berpakaian Bundanya saja sudah berbeda 180. Ralat! 360 derajat dengannya.
Tak masalah jika memang orang tua Zali menerima Maya apa adanya. Toh semua orang pasti akan berubah. Ya, setidaknya kalimat itu yang ia tancapkan dalam dirinya untuk menembus rasa percaya diri dalam menghadapi masa depannya kelak bersama Zali.
"Ini Maya Bun, adik kembarnya Mario" Bunda Zali manggut manggut dengan bibir membentuk huruf O.
Merasa ditatap, Maya mengangguk tersenyum. Setelahnya Zali berbisik pada sang Bunda. Entah apa yang lelaki itu katakan, hingga tubuh wanita itu membeku. Ekspresi wajahnya pun tak selembut beberapa detik yang lalu.

KAMU SEDANG MEMBACA
Radar
Teen FictionKu kira kau datang menggoreskan sebuah warna, tapi aku terlena. Yang kau gores bukanlah warna yang indah tapi luka yang tak berdarah Jika aku diberi satu permintaan. Aku akan meminta untuk tak terlahir di dunia. Tapi nyatanya tak ada tawaran permin...