Radar 23

10 2 0
                                    

Gelombang masalah terus saja menerpa kehidupan gadis manis itu. Maya ingin menyerah, Tuhan terlalu keji untuk memberikannya hukuman. Tak ada yang bersih diotaknya. Menyimpan segala rasa dalam diri membuat efek buruk bersarang disana.

Ia teringin menemui orang-orang yang pergi meninggalkannya. Hidup bahagia didimensi mereka. Walau nyatanya belum saatnya ia berada disana. Ia rindu kasih sayang dari Mamanya, ia rindu Dhani-nya. Ia rindu mereka.

Ia tertunduk, meremas tanah di depannya. Matanya memanas, mengeluarkan butiran air disana. Tenggorokannya tercekat tiap kali merasakan gejolak rasa yang tak bisa ia ungkapkan. Sebelah tangannya setia memegang sebuah nisan yang bertuliskan nama yang pernah terukir indah dihatinya.

"Hai, Dhan" Ia kembali terisak. Hanya dengan menyebut namanya saja ia sudah terhanyut dalam kesedihan.

Menghela nafas, ia pun mengusap kasar pipinya yang basah. Menatap tulisan nama itu "Gue yakin lo tau gimana gue sekarang. Disaat gue bertemu dia lagi, kenapa ada satu hal yang nggak pernah gue tahu dari kalian? Apa gue nggak berharga dimata kalian? Hingga kalian seenaknya mengoper perasaan gue?" Cairan bening itu tak mampu lagi ia tahan. Ia berikan sedikit waktu untuk tetap mengalir menemani kekesalan hatinya saat ini.

"Gue dengan rela kasih hati gue ke Juna saat itu. Tapi dia malah pergi, dan nyerahin semua ke lo" Ia kembali tertunduk, menggigit bibir bawah menyalurkan rasa sakitnya.

"Yaps. Kita seri. Gue nyuruh lo jauhin Zali karna gue sayang sama lo. Dan gue nggak mau liat lo hancur karna dia" Maya termangu dengan setiap kalimat yang diucapkan lelaki itu. Jantungnya berdetak lebih keras tanpa ia mau.

Dari sorot matanya, Maya tak menangkap kepalsuan disana. Perlahan Juna melangkah mendekatinya, berdiri tegap di hadapannya. Menatap manik matanya dalam dalam. Seutas senyum nampak disudut bibir lelaki itu sebelum beranjak dari sana.

Melihat punggung lelaki itu menjauh, terbesit sesuatu dibenaknya "Tunggu!" Suaranya menggema. Lelaki yang ia cegah langkahnya berhenti seketika. Secepat kilat ia mencari selembar kertas yang sengaja ia bawa didalam tas raketnya.

Lelaki itu berkerut kening memandangnya. Beberapa detik kemudian ia melangkah mendekati lelaki itu, karena Juna tak merubah posisi terakhirnya sedikitpun.

Tak ingin berlama lama, Maya menarik sebelah telapak tangan Juna lalu meletakkan kertas sobekan buku Dhani disana. Menyadari hal itu Juna terperangah "Ini.."

"Ini bukti kebodohan lo" Potong Maya tegas.

"Sadar nggak sih lo, saat lo minta Dhani buat jaga gue secara nggak langsung lo nyerahin perasaan gue yang lo bawa ke dia" Mata Juna membulat. Perkataan Maya benar adanya. Ia terlalu bodoh untuk menyadari itu.

"Dengan mudahnya lo nyerahin perasaan gue ke Dhani, sedangkan gue mati-matian pertahanin perasaan gue ke lo" Maya tersenyum remeh memandang sekitarnya "Kalo lo masih pertahanin perasaan ke gue. Kenapa kalian bisa jadian saat gue pergi?" Matanya menatap kembali lelaki itu. Tajam, dan menusuk.

"Karna gue nggak mau terlalu bodoh nunggu kepastian dari lo" Sarkasnya penuh penekanan.

"Kalo lo beneran sayang sama gue. Lo nggak akan biarin gue tersiksa nungguin lo"

Menghela nafas, ia mendongak sejenak. Berharap bisa menghentikan air mata itu, nyatanya ia tetap mengalir tanpa bisa ia cegah "Dan gue dengan bodohnya nerima lo, tanpa tau semua fakta gila ini. Gue sayang sama lo Dhan, tapi gue juga nggak bisa ngehilangin perasaan gue ke Juna gitu aja" Tersenyum getir, ia mengusap pelan gundukan tanah yang telah rata mengubur tubuh lelaki itu.

"Lo tau. Lucunya, sekarang gue dipertemukan sama lo lagi. Tapi beda versi" Air mata itu berhenti mengalir, namun perih tetap bersarang di lubuk hatinya "Munafik jika gue bilang nggak tertarik sama dia. Dia terlalu subhanallah tau nggak" Terkekeh ia kembali menatap lekat batu nisan itu.

RadarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang