Masih lengkap dengan seragam sekolah yang kusut dan berantakan, Maya dan Bagas mendampingi Ibu Iren didepan ruangan bercat putih itu.
Bayang-bayang sayatan dilengan Iren terus berputar dibenaknya. Seakan ia adalah porosnya. Poros dari masalah besar yang menimpa sahabatnya sendiri.
Ibu Iren tak hentinya menangis sembari berdoa untuk keselamatan putri semata wayangnya. Bagas setia berada disisi Ibu Iren, merangkul dan mengusap punggung wanita paruh baya itu. Miris ia melihatnya, jika memang ada yang perlu disalahkan disini. Ia lah yang pantas menyandang gelar itu.
Lelah, ia bersandar pada tembok disisi pintu. Kakinya tak sanggup lagi menopang tubuh, ia meluruh. Ia tak peduli bagaimana jilbab yang dipakainya tak beraturan lagi. Menekuk lutut, Maya menyembunyikan wajahnya dilekukan tersembunyi itu.
"Maafkan kami nak" Suara parau itu menggerakkannya. Dengan gerakan cepat Maya bersimpuh menyejajarkan posisinya, menggenggam tangan yang mulai keriput itu "Justru Maya yang mau minta maaf. Maya yang..."
"Tidak!" Ibu Iren kembali sesegukan sebelum kembali mengeluarkan suaranya "Ini salah Tante" Bahunya berguncang, spontan Maya menarik wanita itu dalam pelukannya.
Dahi Bagas mengerut, ia berfikir sejenak sembari membiarkan Ibu Iren sedikit tenang dalam pelukan hangat Maya.
Ehem.
Bagas berdehem.
"Tante" Wanita itu melepas pekukannya lalu menatap Bagas sendu "Kali ini biarkan saya tahu semuanya" Maya mengernyit, tahu tentang apa? Dan apa yang ia tak tahu dari sahabatnya sendiri?
Ibu Iren menunduk menguatkan dirinya sendiri "Iren kehilangan sosok ayah saat ia masih sekolah dasar. Dia terpukul. Benar-benar terpukul atas kepergian ayahnya yang tiba-tiba" Maya tercengang sekaligus merasa tenggorokannya tercekat. Otaknya dipaksa kembali berputar kejadian dimasa lalu, ketika Mamanya meninggalkannya.
"Dia bahkan nggak mau sekolah untuk beberapa hari. Sampai akhirnya, Bagas datang dan menghibur Iren" Senyum bercampur haru ia tunjukkan dibalik wajah yang mulai menunjukkan kerutannya "Kita memulai lagi dari nol. Hidup tanpa seorang kepala rumah tangga, dan menjadi single parent bagi tante awalnya sangat sulit. Tante harus bisa menjadi ibu sekaligus ayah bagi Iren. Sampai saatnya tiba, harta peninggalan Ayahnya sudah menipis. Tante berjuang mencari pekerjaan kesana kemari untuk menghidupi anak Tante satu-satunya. Dengan modal ijazah SMA, apa yang bisa diharapkan?" Ibu Iren menghela nafas panjang
"Diterima sebagai pembantu rumah tangga, Tante sangat bersyukur. Setidaknya Iren tidak kelaparan dan kebutuhan sekolahnya terpenuhi" Maya terharu mendengar kisah perjuangan hidup seorang Ibu dari sahabatnya.
"Tapi, itu tidak berlangsung lama.."
"Semakin Iren naik ke jenjang yang lebih tinggi, semakin meningkat pula kebutuhan dia. Sedangkan upah yang Tante dapat hanya bertambah sedikit, tak mampu mengimbangi kebutuhan Iren seutuhnya. Kondisi ekonomi kami benar-benar terpuruk, keluarga Bagas lah yang menjadi saksi betapa buruknya kondisi keluarga Tante saat itu" Bagas mengelus lembut lengan wanita itu.
"Orang tua Bagas bahkan menawarkan bantuan pada Tante, tapi Tante menolak. Sampai akhirnya berita itu terdengar oleh keluarga Tante di Makassar" Mendengar nama kota itu, Maya teringat Juna. Tempat dimana Juna menghilang darinya.
"Kakak kandung tante memaksa tante untuk menetap disana, tapi tante juga memikirkan Iren. Dia selalu cerita ke tante, kalau dia merasa nyaman berada disekolahnya, senang dengan teman-temannya. Dari situ tante nggak mau merenggut kebahagiaan anak tante setelah terpuruk atas kepergian ayahnya. Akhirnya, kakak tante memaksa tante untuk menerima sejumlah uang tiap bulannya. Tante kira, dengan begitu kehidupan kami lembali berjalan normal. Tapi tante salah, jalan yang tante ambil justru berduri"

KAMU SEDANG MEMBACA
Radar
Novela JuvenilKu kira kau datang menggoreskan sebuah warna, tapi aku terlena. Yang kau gores bukanlah warna yang indah tapi luka yang tak berdarah Jika aku diberi satu permintaan. Aku akan meminta untuk tak terlahir di dunia. Tapi nyatanya tak ada tawaran permin...