Hari bergulir silih berganti, kegundahan tak lagi menyelimuti diri Maya. Tapi beberapa hari ini, rasanya berbeda.
Hari harinya terasa kosong. Si setan itu benar benar tak mengusiknya lagi. Bahkan jika mata tak sengaja bertemu, Juna pasti memutus kontak terlebih dulu.
Seperti orang asing yang tak ada ikatan apapun.
Walau sebenarnya, ia ingin memiliki ikatan. Tapi bagaimana dengan Zali? Apalagi hidup Iren yang menjadi taruhannya.
Rumit.
Ia sendiripun bingung. Sebenarnya hatinya ini untuk siapa. Jika ia melihat Zali, ia teringin selalu didekatnya. Tapi jika sudah disandingkan dengan Juna, kenapa hatinya mengingkari nama Zali.
Ada perasaan bersalah dalam dirinya. Ia seperti mempermainkan perasaan dua orang selama ini. Walau sekarang, ia tak lagi merasa demikian. Tapi, melihat Juna yang pasrah saat Dara menempelinya kemana-mana ada desiran aneh melingkupi.
Hampir setiap hari matanya harus rela melihat Juna dan Dara melintas didepannya. Meski ia pun juga sering melintas bersama Zali didepan Juna, tapi sungguh tatapannya membuat Maya ragu akan keputusannya.
Tiap kali ia berjalan bersama Zali, tak jarang Juna juga melihat. Terkadang juga ia melihat tatapan Juna yang tak lagi tajam saat melihat Zali. Tatapan itu, lebih sendu. Seperti orang yang terpaksa merelakan.
"Liatin apa sih?" Zali melihat sekeliling, tapi syukurlah Juna sudah menghilang dari tempatnya semula.
"A.. Emm nggak kok. Eh, Bang nanti pulang sekolah gue mau langsung latihan"
"Mau diantar?" Maya tersenyum mengangguk.
Sedikit rasa senang dalam dirinya melihat wajah Zali yang semakin berseri setiap harinya. Sedikit demi sedikit, lelaki itu bisa mengontrol kecanduannya. Ia yang setia menemani dan membantunya untuk sembuh.
Bahkan saat akan ujian akhir pun ia harus rela begadang demi menemani Zali yang tiba-tiba demam. Tentu saja itu efek kecanduannya yang tak terpenuhi. Karna Ayah Zali yang tak lain adalah penyuplai ganja untuk anaknya sudah tertangkap pihak berwajib. Tapi untungnya, lelaki paruh baya itu tak menyeret nama anaknya. Setidaknya Zali aman selama Ayahnya tutup mulut.
Ditemani Mario, ia rela meluncur ke rumah Zali malam-malam. Menemani Lelaki itu, memberi semangat, dan sedikit merawatnya. Seperti mengompres dan menyuapinya makan.
Bunda Zali dan si kecil Maya pun sudah mulai akrab dengannya. Ia pun perlahan mengetahui seluk beluk keluarga kecil mereka. Ayah tiri Zali adalah pengasuh pondok pesantren dikota asalnya. Pantas saja jarang bertemu saat berkunjung kerumahnya.
Sepertinya sekarang, ia sudah diterima menjadi calon menantu. Ya, walaupun ia belum pernah bertemu dan bercengkrama dengan ayah Zali. Tapi setidaknya ia memiliki 75% dukungan dari keluarga kecilnya.
Duh, berfikir jauh begitu membuatnya senyum senyum tidak jelas.
Menatap langit kamar, wajah berseri Zali terbayang. Merentangkan tangan memenuhi kasurnya, ia mulai membayangkan bagaimana keluarga kecil mereka nanti. Memiliki anak kembar yang kalem seperti Zali, atau bisa saja sifat bar-bar dari dirinya diturunkan ke anaknya kelak.
Ia jadi menyesal kenapa sifat nya tidak seperti abang kembarnya saja. Kalau anak nya dengan Zali nanti sifatnya bar bar seperti indukannya, bisa mencoret nama keluarga yang sudah disusun sebaik rupa.
Tersenyum lebar ia menyambar smartphone yang baru saja berdering.
"Assalamualaikum Bang" Jawab telfon itu asal tanpa melihat namanya.
"Waalaikumsalam. Juna bukan Zali" Ia mengernyit kaget, suara itu terkesan dingin dan, cemburu mungkin.
"Eh, sorry sorry gue kira.."
KAMU SEDANG MEMBACA
Radar
Teen FictionKu kira kau datang menggoreskan sebuah warna, tapi aku terlena. Yang kau gores bukanlah warna yang indah tapi luka yang tak berdarah Jika aku diberi satu permintaan. Aku akan meminta untuk tak terlahir di dunia. Tapi nyatanya tak ada tawaran permin...