Keangkuhan Dara menusuk setiap sudut hati wanita paruh baya itu "Jadi... Apa untungnya buat gue. Bibi?" Sengaja gadis itu menekankan panggilan Bibi didepan Bagas. Karena seluruh sekolah pun belum tahu jika Dara dan Iren memiliki hubungan keluarga. Ia melirik Bagas sekilas, menyunggingkan senyum melihat raut keterkejutan lelaki itu.
Langkah Maya semakin dekat, tapi telinganya belum mampu menangkap apa yang barusan Dara katakan.
"Apapun. Tolong" Pintanya melemah. Wanita itu sudah tak tahu kemana lagi mencari pendonor untuk anaknya. Hanya Dara, sepupu Iren yang ia harapkan.
Bagas mulai muak dengan sikap gadis itu. Dara bersedekap tersenyum sinis "Oke kalo gitu gue mau dia pindah sekolah" Ucapan Dara tentu saja memancing emosi Bagas.
"Nggak akan!" Sarkas Bagas penuh penekanan.
"Kalo gitu, gue nggak bakal.."
"Iya. Iren akan ibu pindahkan" Bagas menatap wanita itu tak percaya. Disisi lain, Dara justru tersenyum penuh kemenangan.
"Pastikan besok nama Iren sudah tidak ada lagi di sekolah itu!" Titahnya
Maya yang mendengar samar-samar percakapan mereka menangkis permintaan gila Dara "Seharusnya lo yang pindah" Sontak ketiganya menatap kedatangan Maya bersama Zali dan satu wanita asing.
"Bukannya sekolah itu nggak selevel ya sama gaya lo? Apa mungkin lo pengen turun kasta?" Sindiran Maya tepat mengenai sasaran. Tangan Dara mengepal.
Meskipun sekolah mereka terbilang elit, tapi tidak untuk anak seukuran Dara. Anak dari seorang pengusaha batu bara ternama, dan jangan lupakan gaya hidupnya yang hampir sama seperti Maya. Tidak sinkron dengan sekolah bernuansa islami yang ia enyam saat ini. Kecuali Maya, kehidupan berbau pesantren dari Mama nya sudah pernah ia rasakan sebelumnya. Jadi setidaknya ia tidak seperti Dara.
Sesaat ia tersadar jika Bunda Zali ada bersama mereka. Tangannya mengepal, melampiaskan kecerobohan mulutnya yang asal bicara "Emm.. Tante ini Bundanya Bang Ja... Em Maksud saya Bundanya Bang Zali" Maya tersenyum kikuk, hampir saja keceplosan lagi.
Kedua wanita paruh baya saling bersalaman "Beliau yang akan donorkan darahnya untuk Iren"
"APA?!" Tentu saja Dara terkejut karena misinya gagal. Disisi lain Ibu Iren dan Bagas menunjukkan betapa leganya mereka mendapatkan pendonor tanpa minta imbalan.
"Gue sepupunya, gue yang lebih berhak jadi pendonornya!" Seperti tercekik, nafas Maya terhenti seketika. Menatap Dara yang justru gadis itu menatapnya sinis.
"Nggak ada pengaruhnya Dar. Udah deh nggak usah bikin ribet! Mending lo cabut!" Usir Bagas tegas. Lelaki itu mengerti bagaimana keterkejutan Maya mendengar fakta baru ini, ia pun sama.
"Bi?"
Ibu Iren menunduk "Maaf.." Dara melirik Maya sekilas lalu menghentakkan kaki sebelum beranjak dari sana.
Maya masih bertahan diposisinya. Menatap kepergian Dara sampai punggung gadis itu hilang dibalik koridor rumah sakit.
Dia datang bukan karena semata-mata ingin sekolah disini. Dia mengejar seseorang yang menjadi incarannya.
Sekarang ia tahu fakta baru, Dara lah anak dari kakak Ibu Iren. Tapi apa benar Iren yang menjadi incaran Dara?
"Ehem.."
"Tante sebaiknya kita segera menemui dokter untuk melakukan transfusi darah tante" Kali ini Bagas yang memecah keheningan diantara mereka.
Bunda Zali dan Ibu Iren melangkahkan kaki mereka menuju tempat transfusi darah. Tinggalah mereka bertiga disana. Maya dan Bagas saling bertatapan, mengisyaratkan keterkejutan mereka. Sedetik kemudian Maya berjalan mendekati Bagas, tapi bukan untuk mendekati Bagas sepenuhnya. Gadis itu mendekati tembok di belakang Bagas. Memukulnya keras "Aargh..." Teriakan Maya terdengar putus asa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Radar
Teen FictionKu kira kau datang menggoreskan sebuah warna, tapi aku terlena. Yang kau gores bukanlah warna yang indah tapi luka yang tak berdarah Jika aku diberi satu permintaan. Aku akan meminta untuk tak terlahir di dunia. Tapi nyatanya tak ada tawaran permin...