Tak ada lagi yang mengisi ruang kosong disini. Di sini, tepat direlung hatinya.
Senjata makan tuan. Setidaknya itu yang bisa menggambarkan Juna sekarang. Tempo hari ia berkata pada Maya bahwa gadis itu egois dengan perasaannya sendiri. Tak mau mengakui perasaannya yang sebenarnya.
Dan sekarang ia mengalami itu. Sepele tapi menyiksa. Harusnya ia tak menuruti kemauan gadis itu. Harusnya ia bertahan pada gadis itu. Memperjuangkan apa yang dikatakan oleh hatinya.
Sekali lagi ego mengalahakan semuanya. Dua hati yang enggan mengalah untuk saling bersama. Enggan mengakui keberadaan dalam ruang hatinya.
"Si Maymunah kemana dah?" Tanya Bagas ditengah kerumunan komplotan mereka. Dari tempat duduknya, ia menyimak pembicaraan mereka.
"Kagak masuk dia" Celetuk Resti yang bertugas mengabsen teman temannya.
"Bolos lagi?" Terka Andre.
"Sakit"
"HAH?!" Jawab ketiganya kompak.
"Alesan tuh anak. Semalem masih chat sama gue"
"Hoax pasti suratnya"
"Dia sakit beneran anjir. Abangnya yang kasih suratnya langsung ke gue" Tangkis Resti.
Tanpa sadar tangan Juna mengepal. Ia menghela nafas sesaat sebelum akhirnya berdiri menyampirkan tasnya di pundak sebelah kiri.
"Ren gue duduk disebelah lo ya" Tanpa menunggu jawaban, Juna mendaratkan dirinya di kursi Maya yang kini kosong. Mengabaikan tatapan dari Andre, Bagas, Iren maupun Resti.
Disisi lain Iren merasa canggung akan keberadaan Juna. Bahkan untuk menggerakkan tangannya pun terasa sulit, seperti kehabisan ruang untuk bergerak.
Walau Iren disisinya, tapi Juna tak bisa memungkiri bahwa pikirannya tetap pada sang pemilik hati. Duduk di kursi Maya makin membuatnya terngiang akan tingkah gadis itu. Suara cemprengnya, juteknya, dan senyuman manisnya.
Sesak. Bayang bayang Maya memenuhi pikirannya. Ingin rasanya membuang jauh jauh ini semua. Tapi sia sia. Semakin berusaha menjauh semakin kuat bayang bayang itu tertancap dalam benaknya.
***
Terjadi kebingungan diantara mereka. Kecuali Bagas. Ia tahu Maya pasti mendesak Juna untuk mendekati Iren. Dari dalam hatinya ia benar benar tak setuju dengan keputusan yang Maya buat.
Dibalik perhatian Juna pada Iren, ia melihat hatinya tersiksa. Rumit memang kisah mereka. Harus merelakan satu hati yang tersakiti.
"Gue anter pulang ya" Iren tersentak, matanya menatap Juna yang tersenyum kepadanya. Interaksi antar keduanya menjadi sorotan bagi ketiga temannya. Baik Bagas, Andre maupun Resti tak tahu reaksi apa yang akan mereka tunjukkan melihat kedekatan keduanya. Situasi ini bukan hanya sulit untuk Maya, tapi juga untuk mereka.
"Ng..Nggak usah Jun. Gue bisa pulang sendiri. Eh.." Tanpa menghiraukan jawaban itu, Juna menarik tangan Iren keluar dari kelas.
Pasrah, Iren terpaksa mengikuti langkah Juna. Sekilas ia melirik ketiga temannya yang diam sembari menatap setiap langkah mereka hingga hilang dari pandangan.
Tiada sepatah kata keluar dari mulut keduanya. Mereka berjalan beriringan sambil tangan Juna menggenggam tangan Iren. Sampai di dekat parkiran Juna memperlebar langkahnya. Untuk menyamakan langkahnya, Iren berlari kecil karna langkah kaki nya tak selebar Juna. Hingga langkah mereka berhenti mendadak karena Juna menabrak seseorang yang familiar baginya. Ia tak tahu pasti siapa dia itu karena laki laki itu memakai topi yang menutup sebagian wajahnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Radar
أدب المراهقينKu kira kau datang menggoreskan sebuah warna, tapi aku terlena. Yang kau gores bukanlah warna yang indah tapi luka yang tak berdarah Jika aku diberi satu permintaan. Aku akan meminta untuk tak terlahir di dunia. Tapi nyatanya tak ada tawaran permin...