Dinginnya udara malam tak surutkan niatnya untuk segera menutup jendela kamar. Maya justru meniknati pemandangan langit malam yang berbeda jauh dari rumahnya dulu.
Jika dulu ia bisa dekat dengan bulan, kali ini bulan terasa menjauh darinya. Tersenyum getir ia mengambil smartphone dari saku. Hanya memandanginya tanpa berniat membuka.
Berharap nama seseorang kembali tertera dilayar.
Entah kenapa, ia jadi rindu akan suaranya. Padahal pagi tadi ia sudah mendengar suara Juna.
Tapi rasanya beda, suara yang ia dengar justru pilu. Bukan lagi ocehan ataupun gombalan darinya.
Suara pintu terbuka mengejutkannya "Pa.." Protesnya yang justru dibalas dengan kekehan.
Gunawan mendekati putrinya, mengelus rambutnya seperti kebiasaannya dulu "Udah malem, nggak baik celingukan dijendela kayak gitu"
Maya menghela nafas menatap bulan. Gunawan pun tertarik dengan arah pandangan Maya.
"Gimana Juna?" Sontak Maya menoleh.
"Gi, gimana apanya?"
"Ya.. dia kan selalu ada buat kamu" Gunawan melihat raut kebingungan diwajah putrinya.
"Mario yang cerita sama Papa, apa aja yang terjadi sama kamu selama ini"
Maya memandang Papanya yang justru menampilkan wajah tenang komplit dengan tangan masuk saku celana "Jadi si Komarudin yang cerita?"
"Maya.." Peringatan halus dari Gunawan menyadarkan betapa bar bar mulutnya itu.
Maya memukul pelan mulutnya "Emm, maksud Maya, Bang Mario yang cerita ke Papa? Cerita apa aja dia Pa?"
Bukannya menjawab, Gunawan justru terkekeh sembari mengelus kepala putrinya. Maya mengerut penasaran menunggu jawaban "Makin hari, kalian makin dewasa. Papa sudah tidak berhak menuntun jalan hidup kalian. Hanya bisa mengarahkan kemana harusnya kalian melangkah"
Maya terdiam, mencerna ucapan Papanya. Gunawan memberikan secangkir cappucino "Semua ada ditangan kalian sendiri" Maya menatap cangkir dan Gunawan bergantian.
Setelahnya Gunawan mengelus lengan putrinya lalu beranjak keluar.
Terpaan angin menyadarkannya. Menyesap secangkir cappucino hangat sembari berfikir menatap sang rembulan.
***
Keramaian dikantin menyurutkan niatnya untuk mengisi perutnya yang kosong. Maya berbalik arah berniat sekedar jalan-jalan untuk memulihkan isi otaknya "Hei,Maymunah.. Mau kemana lo" Merasa terpanggil Maya menghentikan langkah. Dan detik itu juga Bagas menahan kerah bajunya.
Berdecak kesal, terpaksa Maya memutar tubuhnya "Kenyang gue liat mereka makan" Tunjuknya dengan dagu.
Kompak, mereka melihat banyak anak yang memenuhi meja kantin dengan mulut tak henti mengunyah makanan.
"Alesan lo aja kali, bilang aja mau ngapel Bang Jali" Juna yang kebetulan berjalan melewati mereka tak sengaja mendengar ucapan Andre.
Maya melihatnya, walau hanya seperkian detik ia tahu Juna pasti mendengar ucapan Andre. Wajahnya memang seperti orang yang tak peduli, tapi ia menangkap sesuatu yang tersirat disana.
Segera Maya menghempas tangan Bagas "Gue mau ke kamar mandi" Ucapnya singkat lantas menjauh dari keramaian. Menyusuri koridor dengan langkah santai, menatap setiap anak yang asyik bersenda gurau dengan kawan-kawannya. Sampai matanya tak sengaja bertemu ruangan besar di ujung koridor. Ruang paduan suara.
Sepertinya ruangan itu baru saja dipakai oleh kelas lain, pintu masih terbuka dan kursi masih ada yang tidak pada tempatnya. Tersenyum, Maya mulai menyusuri ruangan itu. Terdapat beberapa alat musik disana. Piano, biola, dan alat musik yang ia sukai. Gitar.

KAMU SEDANG MEMBACA
Radar
Teen FictionKu kira kau datang menggoreskan sebuah warna, tapi aku terlena. Yang kau gores bukanlah warna yang indah tapi luka yang tak berdarah Jika aku diberi satu permintaan. Aku akan meminta untuk tak terlahir di dunia. Tapi nyatanya tak ada tawaran permin...