Radar 02

11 4 0
                                    

Beberapa menit lagi papanya akan sampai dirumah. Maya terduduk dibibir ranjangnya memperhatikan raport dan jam dinding bergantian. Ia harus tahan akan omelan papanya nanti.

Suara pintu terbuka membuyarkan pikiran Maya "Papa udah pulang, bentar lagi pasti nonton tv." Mario masuk begitu saja sembari memegang buku raport nya

"Bukan Maya namanya kalo lemah kayak gini." Lengannya merangkul pundak sang adik. Maya tahu Mario peduli padanya, ia beruntung ditakdirkan memiliki kakak seperti Mario

Genggaman Mario menyalurkan rasa percaya diri bagi Maya. Meskipun ia tahu bagaimana nanti akhirnya. Setidaknya ada benteng di depan yang siap melindungi gempuran gempuran dari sang Papa.

Inilah salah satu hal yang ditakutkan Maya, berdiri didepan Papanya sambil membawa sebuah buku hasil pencapaian selama satu semester. Dilihatnya Mario yang begitu mulus mendapat sebuah tanda tangan.

Dan sekarang "Gak sudi aku lihat raport isinya merah semua. Contoh itu Mario. Nilainya selalu bagus. Gak kayak kamu yang bisanya bolos terus" Gunawan menutup buku raport Maya, seakan enggan melihat apa yang tertera didalamnya

"Maya bolos itu juga karena Papa yang selalu nekan Maya" Mario dan Gunawan dibuat tercengang oleh jawaban dari Maya. Mario tak percaya jika adiknya berani berkata seperti itu.

Gunawan berdiri tegap didepan Maya. Amarah tergambar jelas di guratan wajahnya

Setiap kali Maya menunjukkan hasil semesternya ia selalu diam seribu bahasa, hanya menunduk mendengarkan semua omelan omelan papa nya. Tapi kali ini dia sudah merasa lelah, dia tidak akan tinggal diam

"Pa, bang Mario sama aku itu beda. Kita emang ditakdirkan kembar tapi bukan berarti otak kita sama Pa." Maya menunjuk kepalanya, berharap Gunawan mengerti maksud perkataannya.

"Harusnya kamu itu lebih giat belajar bukan malah ikut club yang gak jelas itu." Sentakan Gunawan membuat tatapan Maya menajam.

Yuni, ibu mereka berlari mendengar keributan diruang keluarga. Buru buru dia menghampiri suaminya yang tersulut emosi.

"Pa, jangan menekan Maya seperti itu. Dia emang ga sepandai aku, tapi dia punya bakat yang hebat dibidang nya sendiri" Mario yang ada diantara situasi mencoba menenangkan Gunawan

"Pa, apa yang dikatakan Mario benar. Dia punya bakat lain dalam dirinya." Yuni mengelus pundak suaminya
"Aku hanya ingin Maya mengerti Yun. Dia gak tahu gimana kerasnya kehidupan diluar sana." Tatapan tajamnya menghunus relung hati Maya.

Ia lelah, pikirannya tertekan. Semenjak kehilangan seorang yang sangat berharga, Gunawan selalu memarahi bahkan hampir membenci Maya hanya karena dia lemah dalam hal akademik.

"Dan Papa gak pernah tahu gimana kerasnya perjuangan aku untuk bisa seperti yang papa minta." Bentak Maya dengan suara yang bercampur dengan isakan.

Plak

"Astaghfirullahaladzim. Papa... Cukup" Mario merangkul adiknya yang terkena tamparan keras Gunawan.

Tenggorokan Maya tercekat, dadanya sesak, seperti ada ratusan pisau menikam relung hatinya. Tangannya setia memegang pipi yang mulai menerah dan panas.

"Udah pa, udah." Yuni membawa suaminya menjauh dari Maya yang sudah dalam kondisi tertekan. Yuni menyuruh Mario menenangkan Maya lewat isyarat mata.

Mario mengangguk mengerti. Maya dituntun perlahan menuju balkon atas, tempat favorit Maya saat di rumah.

Tangan Mario memegang bahu adiknya. Menuntutnya untuk duduk di kursi yang menghadap jalanan sepi dekat rumahnya "Jelek juga lo kalo lagi nangis." Spontan Mario menjauhkan wajahnya saat mendapati wajah Maya yang tidak seperti biasanya.

RadarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang