Radar 21

6 2 0
                                    

Sudah sehari selang infus itu tertanam ditelapak tangan Yuni. Wajah pucat tak menghilangkan kadar kecantikan darinya. Bahkan aura kecantikannya tetap memancar walaupun ia tertidur.

Disamping ranjang, Maya menatap sendu wanita yang kini tengah mengandung calon adiknya. Kedua tangannya menggenggam sebelah tangan Yuni. Mengelusnya sebentar lalu beranjak keluar ruangan.

Maya melangkah cepat melewati Oma dan Mario yang duduk di depan ruangan "Lo mau kemana?" Tepat saat itu juga Maya berhenti, ia berbalik menatap dua orang yang juga menatapnya penuh tanya.

Tangannya terkepal, nafasnya pun memburu "Gue nggak bisa diem liat Bunda tersiksa" Ucapnya dengan mata memancarkan amarah. Spontan Oma mendekati Maya, mengelus punggung gadis itu berharap bisa sedikit menenangkan emosinya "Inget pertandingan besok!" Peringatnya yang berhasil membuat mata Maya berubah.

Seketika Maya terdiam. Bagaimana bisa ia bertanding sedangkan masalah terus menghantui pikirannya. Jujur, ia tak siap untuk turun besok. Menghela nafas, ia menunduk lalu memeluk Oma nya. Memejamkan mata, menikmati sengatan hangat yang menjalar didalam dirinya.

Sungguh ia merasa sedikit tenang sekarang. Setelah mendapat pelukan itu hatinya tenang, bahkan emosinya reda dengan cepat tak seperti biasanya. Dan sekarang ia tahu, apa yang harus dilakukan jika emosi menguasi dirinya. Pelukan.

Maya tersenyum menatap Oma. Lalu melepas kaitan tangannya ditubuh Oma. Tatapannya beralih pada Mario "Bang anterin gue besok ya" Pintanya dengan mata berbinar.

Seutas senyum terpatri di bibir indah Mario. Melihat kondisi Maya kembali membuat hatinya menghangat. Ia mengangguk hendak menjawab. Namun baru membuka mulut, suara berat menjawabnya terlebih dulu

"Jangan dia" Sontak semua pasang mata menatap sosok lelaki yang berdiri tak jauh dari keberadaan mereka.

***

Sembari menunggu sang pemilik rumah, lelaki itu menyesap minuman yang sudah disajikan untuknya. Kedua bola matanya menyusuri setiap sudut ruangan itu. Hingga pandangannya jatuh pada beberapa foto yang terpampang tak jauh darinya.

Dua anak kecil yang terpotret sedang bermain pasir di pantai. Sedang dipigora yang lain tampak foto candid yang ia yakini keluarga lengkap dari sang pemilik rumah. Semuanya tertawa lepas, tak ada beban sedikitpun yang terlihat disana.

Ia termangu melihat gadis itu. Mengenakan gamis yang kebesaran di badan kecilnya. Ia yakin jika itu bukan gamis milik gadis itu.

"Maaf lama" Suara berat menginterupsi hingga ia tertarik kembali ke dunia nya.

Ia tersenyum menanggapi "Nggak papa" Lelaki itu menyerahkan sebuah buku bersampul biru. Setelah itu dia diam. Ia terlihat memikirkan sesuatu untuk dibicarakan "Kenapa Yo?"

Mario mengusap tengkuknya "Emm.. Maaf Zal, aku udah tau semuanya" Zali mengerutkan kening "Soal apa?"

"Maya" Akhirnya ia bisa mengatakan ini. Sebelum egonya berkata untuk tidak membicarakan masalah pribadi mereka berdua. Tapi keadaan lah yang memaksanya berada dalam situasi ini. Ia tak ingin terus terusan melihat Maya tersiksa dengan perasaannya "Percaya Zal. Dia masih punya hati untuk tidak melakukan itu" Zali menegakkan posisi duduknya, seakan menantang.

"Telingaku masih berfungsi menangkap pembicaraan mereka" Jawabnya datar tanpa ekspresi kalem yang biasa ia tunjukkan.

"Dia diam karena dia tak tahu harus menjawab apa"

"Itu artinya yang dikatakan Juna BENAR!" Bentak Zali dengan muka merah padam. Mario terkejut dengan apa yang barusan dilontarkan sahabat seperguruannya itu. Ini adalah kali pertama ia melihat Zali marah, meluapkan emosinya. Dan sekarang ia mulai tahu efeknya.

RadarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang