Api unggun berkobar menyalurkan kehangatan diantara dinginnya malam. Semua peserta duduk bersila sembari menikmati pentas seni yang disajikan.
Sejak pagi setengah siang tadi Maya tak menampakkan dirinya. Juna semakin frustasi rasa bersalah itu terus menghantui. Bagaimana bisa ia membiarkan gadis yang ia cintai tenggelam dalam danau itu.
Ia pikir Maya hanya bercanda mengingat gadis itu memang suka menjahili orang. Tapi melihat kenyataan yang ada dadanya terasa sesak. Maya tak bisa berenang. Dia terlalu bodoh untuk tidak mengetahui hal sekecil itu. Dan lebih parahnya lagi kenapa Zali yang baru kenal dengan Maya bisa tau jika Maya tak bisa berenang.
Kenapa perhatian lelaki itu sangat mengiris hatinya. Jika benar ia cemburu seharusnya ia tahu apa yang harus ia lakukan bukan?
Suara riuh tepuk tangan membangunkan tubuh yang terbaring itu. Pelan pelan ia mengintip kegiatan peserta lain lewat celah tenda. Matanya meneliti satu persatu dari mereka berharap menemukan malaikat penyelamatnya.
"May ngapain?" Maya tersentak mendengar suara berat itu. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Tak disangka sosok ia cari ternyata kini ada di hadapannya.
Kedua alisnya menaut "Bang Jali kok disini?" Zali tersenyum mendekati gadis itu. Tangannya terulur untuk memegang bahu Maya. Menatapnya dalam dalam.
Apa yang ada dipikiran Maya terhenti. Ia lupa cara bernafas sekarang. Zali menembus temboknya sendiri. Zali yang dulu tak berani beradu kontak mata dengannya kini berani menatapnya sedekat ini. Bahkan memegang kedua bahunya. Sungguh Maya tak menyangka lelaki itu akan luluh dalam waktu sesingkat ini.
"Kamu masih sakit?" Untung saja masih ada satu orang penjaga di dalam tenda, kalau tidak mungkin maya akan pura pura sakit parah lalu zali akan menggendongnya layaknya drama drama korea. Sebenarnya Maya tak benar benar sakit, ia hanya flu dan hidung tersumbat. Tapi ia pura pura sakit agar tak mengikuti agenda acara hari ini.
"Aaaww.." Ringisnya saat Zali menekan kuat kedua bahunya.
Lelaki itu tersenyum manis melepas bahu Maya "Sakit Bang lo gila ya" Ia memeluk tubuh mengusap kedua bahunya. Mulutnya mengerucut kesal.
"Kamu sih ditanya malah bengong. Kenapa? Terpesona ya sama aku?" Matanya melebar menatap senyuman lelaki itu.
Kekehan Zali membuatnya sadar atas apa yang ia lakukan. Semakin menatapnya semakin yakin jika lelaki itu telah luluh olehnya "Bang Jali kenapa nggak ikutan sama yang lain?"
"Sengaja aku nemuin kamu dulu. Karna bentar lagi aku mau tampil di pensi itu" Detak jantungnya memompa tak karuan. Kalimat Zali bagai sebuah mantra yang mampu menggetarkan hatinya.
"Aku mau lantunin sholawat Hayyul Hadi May. Jadi ku harap kamu bisa denger dari sini dan tidur seperti kemarin" Dadanya ingin meledak memuntahkan jantung yang sudah bergejolak didalamnya.
Seorang panitia datang menghampiri mereka "Zal bentar lagi bagian lo" Zali memberikan acungan jempol tanda mengerti. Setelah itu ia melempar senyum pada Maya lalu beranjak bersama kawan sekaligus panitia perkemahan.
Kemana dirinya yang selama ini menyecar Zali dengan beribu tingkah konyolnya. Semua hilang saat ia terpatung atas mantra mantra dari lelaki itu.
Kakinya melangkah menuju matras tempatnya istirahat seharian ini. Berbaring diatasnya sambil menunggu suara lembut Zali. Suara tepukan tangan sudah terdengar kembali. Tinggal menunggu beberapa detik lagi.
Dadanya kembali bergejolak menanti suara itu masuk telinganya. Ia memiringkan tubuh berharap bisa meredakan detak jantungnya. Sedetik kemudian suara yang ia nantikan berayun masuk pendengarannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Radar
Teen FictionKu kira kau datang menggoreskan sebuah warna, tapi aku terlena. Yang kau gores bukanlah warna yang indah tapi luka yang tak berdarah Jika aku diberi satu permintaan. Aku akan meminta untuk tak terlahir di dunia. Tapi nyatanya tak ada tawaran permin...