This part of Story was written by Viona Ang.
Aku melangkahkan kaki sambil bersenandung senang ke ruang kelasku yang terletak tak jauh dari papan pengumuman sekolah. Begitu sampai, langsung kuletakkan Emily dan tas sekolahku ke meja yang paling depan.
Wah, keren sekali! Seperti yang ada di buku gambar! Ada papan tulis, kapur, meja dan kursi kayu yang berjajar rapi. Aku benar-benar ada di sekolah! Tapi di mana semua orang, ya?
"Loh, ada orang?" sebuah suara membuatku terkejut dan segera menoleh ke sumber suara.
Seorang gadis berambut cokelat terang sedang berdiri di ambang pintu, mengenakan sebuah gaun abu-abu lusuh dan membawa sebuah karung lusuh di tangan kanannya.
Wah! Ada teman lagi! Aku harus segera memperkenalkan diri!
"Halo, aku Stacy, siapa namamu?" tanyaku buru-buru melangkah mendekatinya.
"T-Tolong jangan sakiti aku!" pekiknya sambil menyilangkan tangan di depan wajah.
"Loh, tidak. Aku tidak mau menyakitimu." sahutku bingung sambil menghentikan langkahku.
"O-Oh ya?" tanyanya defensif.
"Iya." sahutku sambil mengangguk.
"Okay," katanya sambil menurunkan tangannya, tetap tidak menatap mataku.
Setelah kuperhatikan kembali, anak ini tampaknya punya masalah serius. Sekujur tubuhnya dihiasi luka-luka lebam, matanya bengkak dan tampak sayu, di lututnya ada bekas luka gores yang cukup mengenaskan.
"Apa kamu butuh ke UKS? Papa bilang kalau sakit kita bisa pergi ke UKS." ajakku sambil meraih tangannya.
"Tidak apa-apa, aku tidak apa-apa kok." sahutnya terkejut, buru-buru menepis tanganku. "Namaku Amanda, salam kenal."
"Hai, Amanda. Oh, ya, kamu duduk di mana? Sebelahan, yuk." Ajakku, masih berusaha menjadi akrab dengannya.
"D-Di sana." Ia menunjuk ke arah bangku paling belakang barisan.
Bangku itu tampak sudah reot, dipenuhi akan coretan kata-kata kasar yang dilarang Papa untuk kugunakan serta kata-kata asing lain yang belum pernah aku dengar. Meski begitu, ada satu kata yang langsung menarik perhataianku, yaitu kata 'miskin'.
Miskin?
Jangan-jangan dia seperti putri Cinderela? Yang hidupnya sebatang kara, dipukuli oleh saudara tiri dan ibu tirinya, dan sekolah cuma tempat pelariannya untuk bertemu pangeran pujaannya. Kasihan sekali! Aku harus menolongnya.
"Kalau kau tidak jadi duduk di sebelahku tidak apa-apa, kok. Tidak usah sungkan, aku tidak akan menuntut." katanya lagi, mungkin karena aku lama menjawab.
"Tidak-tidak, tentu saja aku mau." sahutku sambil menarik tasku dan Emily dari atas meja.
"Oh, wow, kau tadinya mau duduk di meja guru?" tanya Amanda, kali ini senyum mengembang di wajahnya.
"Loh, ini meja gurunya?" tanyaku bingung.
"Iya, kau tidak tahu itu? Selama ini tinggalmu di mana? Di gua?" tanyanya lagi, kali ini terkekeh.
Aku pun ikut terkekeh.
"Wajahmu cantik kalau tersenyum, Amanda, jadi tersenyumlah terus, ya. Jangan takut lagi." sahutku sambil meletakkan tasku di baris meja paling depan. "Sebaiknya kita duduk di sini saja, kan tidak ada orang lain yang menempatinya, daripada kamu duduk di bangku reyot seperti itu?"
"T-Tapi—" "Sudahlah, tidak apa-apa." sahutku sambil menariknya untuk duduk.
"Wah-wah, siapa nih?" sebuah suara nyaring menggema memenuhi ruang kelas. "Siapa yang nyuruh babu ini duduk di kursi ini?"
KAMU SEDANG MEMBACA
[KUMPULAN CERPEN] Stacy's Curses
Horror#35 Cerpen out of 3.5k (26.1.20) #24 Sahabat out of 2.26k (26.1.20) #23 Horor out of 1.8k (26.1.20) #20 Misteri out of 1.47k (26.1.20) #22 Urban legend out of 1.22k (26.1.20) Kumpulan cerita seram tentang teror Stacy Rosemary, hantu berdarah dingin...