Torment or Threat? (5)

14 4 0
                                    

Leo POV

Aku tidak mengerti apa yang terjadi.

Seingatku, situasi masih berjalan di bawah kendali sampai beberapa menit yang lalu. Aku bahkan sempat bersorak dalam hati untuk kemulusan jalannya rencanaku dengan Chris yang–sebenarnya–agak-agak konyol itu.

Lalu tiba-tiba Lemon mengamuk, dan aku langsung tersadar akan suatu hal :

Seharusnya aku ingat bahwa cowok itu punya tempramen yang tak kalah buruknya dengan Squidward Tentacles.

Oke, malah mungkin sepuluh kali lipat lebih parah daripada si pegawai Krusty Krab jelek itu. Tempramen Lemon memang tidak ada tandingannya.

Lantas mengapa aku sempat berharap ia akan tercengang, kemudian duduk dan menangis tersedu-sedu sampai Liz jadi jijik dibuatnya?

Maksudku, ayolah, Leo. Itu kan nggak mungkin terjadi. Sekarang cowok itu malah ngamuk dan pergi tanpa permisi. Seharusnya rencana ini bisa dipermak jadi lebih baik–dengan mengikat dulu semua pemainnya ke kursi supaya tak ada yang bisa kabur seenak jidat, misalnya?

Tapi, saat ini, tak ada yang benar-benar bisa kulakukan. Tambahan lagi, setelah Lemon pergi, aku jadi ikutan kaget. Sebelum aku sempat bereaksi, Liz sudah berlari mengejar pacarnya itu duluan–membuatku dua kali lebih kaget daripada sebelumnya.

Oh, man. I'm screwed.

Semua ini benar-benar menyimpang dari skenario sempurna yang telah kususun di kepalaku. Padahal, aku sudah siap menjalankan Rencana B yang kedengarannya tidak buruk-buruk amat lantaran mengira Liz bakalan terlalu syok untuk mengejar Lemon.

Dalam bayanganku, cewek itu bakal menjatuhkan diri ke lantai dan menangis heboh, sementara aku bisa mengeluarkan akting terbaikku dengan berjongkok dan memandanginya penuh simpati. Lalu aku bakal berkata, "Tuh, kan. Bener kata orang-orang. Dia memang nggak cocok buat cewek sebaik elo. Dia terlalu jahanam."

Oke, mungkin aku perlu membuang kata "terlalu jahanam" yang kedengaran keren itu supaya tak dikira antagonis di sini. Tapi, pokoknya, aku bisa membayangkan dia akan mendongak dan berkata, "Iya, mereka bener ternyata. Sekarang gue nyesel pernah pacaran sama buah asem itu. Gue pacaran sama elo aja, deh, mulai detik ini. Anjrit, lo ganteng banget."

Lalu aku akan berkata, "Asyik!" dan menyambung, "Eh, kalo udah nyadar gitu, kenapa lo tetep nangis?"

"Karena lo belum meluk gue," dia akan berkata, "Kan di film-film, kalo ceweknya nangis, biasanya cowoknya meluk dulu baru ceweknya bisa diem. Gitu."

Dan aku akan menyahut, "Oh, iya juga, ya." Lalu bakal terjadi adegan pelukan paling romantis sepanjang masa, and we all live happily ever after.

Sayangnya, skenario yang agak-agak melantur–atau malah melantur banget–itu langsung buyar begitu Liz berlari keluar tanpa ba-bi-bu sambil meneriakkan nama Ray–yang sama sekali tidak cocok untuk cowok jelek tempramental itu–berkali-kali.

Kekacauan bertambah parah saat Anna bangkit berdiri dan berseru, "Liz! Tunggu!"

Dan setelah itu, aku benar-benar spaced out. Anna berlari keluar mengejar sahabatnya itu sambil menangis histeris. Ia sempat membanting pintu keras-keras, membuat Chris berteriak syok.

"Astaga! Pintu gue!"

Saat kusadari aku tidak membalas teriakan Chris itu dengan kata, "Dasar alay", aku langsung tahu bahwa aku masih terlalu syok untuk berbuat apa-apa. Yang bisa kulakukan hanya memandangi cowok paranoid itu dengan muka bengong yang sumpah-bego-banget.

[KUMPULAN CERPEN] Stacy's CursesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang