The Revenge (END)

102 9 4
                                    

This part of Story was written by Viona Ang.

Amanda POV

Astaga! Kenapa hidupku jadi seperti ini!? 

Aku terus berlari dan berlari diiringi sambaran petir dan air hujan yang sudah membasahi seluruh tubuhku. Untunglah orang tua Amy sudah berhenti mengejarku sejak mereka ingat bahwa lebih penting membawa anak mereka ke dokter daripada mengejarku yang sebenarnya bukan pembunuh mereka. 

Benar-benar mengerikan. 

Tatapan Amy dan Grace... benar-benar mengerikan. Aku benar-benar tidak dapat menghilangkannya dari otakku. Tatapan itu sama persis dengan milik Stacy ketika ia hampir kehilangan kesadarannya beberapa kali. Apalagi kondisi tubuh mereka yang berdarah-darah itu...

Sungguh mengerikan sekali! Aku harus memperingatkan Shirley akan hal ini sebelum Stacy melakukan hal yang sama padanya.

Yah, meskipun menurutku Shirley adalah orang paling mengerikan dan keji dan absurd dan paling paling menyebalkan di muka bumi, tapi dia masih layak diperjuangkan, kan? Apalagi dia belum membayar lunas janji uangnya padaku.

Aku buru-buru memanjat pagar rumah Shirley dan berteduh di terasnya. Kuatur nafasku yang sangat tidak karuan setelah berlarian berkilo-kilometer tanpa mengenakan alas kaki, ditemani hujan badai yang setia. Kuperas baju dan celanaku yang kini sudah basah kuyub, dan mulai mengetuk pintu rumahnya.

Tidak ada jawaban.

Kucoba mengetuk lagi, kali ini lebih keras, sambil memanggil-manggil nama Shirley. 

Tetap hening.

Rasa panik mulai melanda benakku, apa aku terlambat? Kulongokkan kepalaku untuk melihat ke bagian dalam rumahnya dan mendapati bahwa tidak ada siapapun di ruang tamu, namun liilin-lilinnya masih menyala. Biasanya tanda-tanda datangnya Stacy adalah lilin yang dimatikan, mungkin aku datang lebih cepat?

Krieet...

Pintu gerbang tiba-tiba terbuka secara perlahan, membuatku sontak menahan napas. Begitu kulihat wajah Shilrey yang teramat judes muncul dari balik pintu ek putih itu, aku langsung bisa kembali bernapas lega. 

Syukurlah aku belum terlambat.

"Ngapain—" perkataannya terpotong ketika aku menerjang memeluknya.

"Maaf, biarkan aku seperti ini sebentar saja. Aku benar-benar butuh pelukan." kataku memelas.

Dan tentu saja, ia tidak mengindahkan kata-kataku. "Apaan, sih! Badanmu itu basah semua, nggak usah nempel-nempel, deh! Lagipula ngapain kamu nerjang hujan ke sini, nggak pake sepatu, pula, butuh duit?" katanya sambil mendorongku menjauh.

"Sorry, aku bener-bener nggak tahu harus gimana lagi." curhatku sambil menggigit bibir, berusaha menahan air mata yang sudah hendak menetes dari pelupuk mataku. "A-Amy dan Grace meninggal dibunuh Stacy, aku dituduh pembunuh oleh semua orang. Aku—" "Hah? Coba ulang?" potong Shirley sengak.

"A-Amy dan Grace meninggal, aku—" "SERIUS?" pekiknya tidak percaya, raut cemas bercampur ketakutan langsung tampak di wajahnya. Ia ikut menggigit bibir bawahnya dan berjalan mondar mandir di tempat seperti memikirkan sesuatu.

"D-Dan Stacy bilang kamu selanjutnya." sambungku sambil menarik nafas dalam-dalam.

Shirley mematung di tempat. Tubuhnya bergetar hebat, bahkan ia sampai terkulai lemas dan jatuh ke lantai. "Nggak mungkin, ini nggak mungkin." bisiknya berulang kali sambil menangis dan menjambak pelan rambutnya sendiri.

Aku hanya bisa memberikan uluran tangan untuk memapahnya duduk di kursi teras.

"Aku harus apa... Aku nggak mau mati." tangisnya pecah, membuatku ikut menangis sejadi-jadinya.

[KUMPULAN CERPEN] Stacy's CursesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang