This part of Story was written by Viona Ang.
NICO POV
Kubuka mataku yang terasa lengket perlahan.
Matahari sudah kembali muncul menerangi ruangan tempatku tertidur.
Kukumpulkan kembali kesadaranku, mencoba mengingat ulang apa yang semalam terjadi.
Astaga! Kami ketiduran!
Aku segera menoleh untuk mencari Bella yang seharusnya masih tertidur pulas di sampingku namun tidak dapat menemukannya.
Otakku langsung memutar kembali kejadian saat aku tersandung di hutan. Saat itu aku berhadapan langsung dengan sepasang mata yang berkilat tak wajar. Ketika kucoba memanggil nama Axel, ia tak bereaksi. Oleh karena itu aku langsung berdiri dari tanah dan lari terbirit-birit keluar dari hutan.
Kenapa kemarin aku tidak menceritakannya pada Bella?
Pencitraan, oke? Masa kau mau gebetanmu mendengar bahwa kau lari terbirit-birit meninggalkannya di dalam hutan sendirian karena merasa ada bahaya datang?
Ah, kacau sekali liburan kali ini!
Aku segera bangkit dari sofa dan meneriakkan nama Bella berulang kali. Aku mencoba berkeliling ke seluruh bagian villa untuk mencarinya namun tidak menemukan gadis itu di mana pun.
Jangan-jangan dia pulang duluan?
Ah, tidak mungkin! Jarak kota kami dengan puncak kan berpuluh-puluh kilo, mustahil kalau dia mau berjalan sejauh itu. Untuk memanggil ojek juga mustahil karena sinyal di sini tidak mendukung.
Akhirnya aku kembali ke ruang tengah, dan duduk termenung di meja makan.
Mari berpikir positif. Mungkin saja ia pergi berjalan-jalan sejenak, atau pergi mencari Axel sendirian, tanpa senjata, tanpa keahlian khusus, dan akhirnya ikut ditangkap oleh si pembunuh, dimutilasi dengan cara tak manusiawi... Tunggu, dasar otak goblok, apanya yang positif dari semua itu!? Aku harus cepat-cepat menemukannya!
Tapi aku lapar.
Mungkin aku akan makan beberapa potong buah dulu sebelum pergi mencari Bella.
Ketika kuambil sepotong apel dari keranjang buah, sepucuk surat yang terlipat rapi terjatuh dari sana. Dengan ragu, aku meraih kertas putih mulus itu dari lantai dan membacanya.
"Hai Nico... Aku meminjam Bella saat kau sedang tidur lelap. Jika ingin menemuinya, datanglah ke hutan yang kemarin malam kau datangi."
Tulisannya jelek sekali, seakan ia sengaja menulisnya dengan tangan kiri. Apalagi ia menggunakan tinta merah. Jika dalam keadaan normal aku akan berpikir bahwa dia—siapapun penulis surat ini—sangat norak. Maksudku, siapa yang masih main surat-suratan di jaman sekarang? Apalagi tintanya diberi warna merah mentang-mentang ini surat ancaman. Memangnya dia umur berapa? Lima? Tapi dengan kondisi sekarang, di mana sahabat dan gebetanmu menghilang dan meninggal secara misterius, surat ini tentu tidak bisa dianggap main-main.
Aku segera meraih kotak P3k, tali dan pisau yang kutemukan di dapur dan menjejalkannya ke dalam sebuah ransel hitam, dan segera berjalan kaki menuju hutan tersebut.
Suasana di luar entah bagaimana tidak seramai biasanya. Tapi memang dari awal semua hal yang terjadi saat liburan ini janggal sih, jadi aku menghiraukan kejanggalan itu dan tetap melangkah maju.
Aku segera melompat masuk ke dalam hutan dan berjalan mantap ke dalamnya.
Selagi masih terang, aku harus sudah bisa menemukan Bella dan turun dari puncak untuk meminta bantuan.
KAMU SEDANG MEMBACA
[KUMPULAN CERPEN] Stacy's Curses
Horror#35 Cerpen out of 3.5k (26.1.20) #24 Sahabat out of 2.26k (26.1.20) #23 Horor out of 1.8k (26.1.20) #20 Misteri out of 1.47k (26.1.20) #22 Urban legend out of 1.22k (26.1.20) Kumpulan cerita seram tentang teror Stacy Rosemary, hantu berdarah dingin...