Torment or Threat? (9)

19 4 0
                                    

Leo POV

Kalau aku terbangun dengan kondisi segar bugar dan kesadaran penuh, aku pasti sudah lari dari sini untuk menyelamatkan nyawa.

Kenyataan tidak seindah itu, tentu saja.

Saat aku membuka mataku yang terasa lengket untuk pertama kalinya sejak kejadian mengerikan yang terasa sudah lama sekali itu, kepalaku rasanya pusing. Bukan pusing biasa, melainkan pusing luar biasa yang menyebabkan seluruh dunia rasanya berputar-putar tanpa bisa kukendalikan. Kalau pun ada komentar yang ingin kuucapkan, pasti itu adalah, "Aduh, tolong aku!"

Seakan itu saja belum cukup parah, aku terbangun dalam kondisi menyerupai orang amnesia. Maksudku, aku benar-benar tak bisa mengingat di mana diriku ini, mengapa aku bisa berada di sini, atau bahkan siapa aku ini. Mengapa aku bisa terbaring di atas kasur seempuk kardus dengan kepala dibebat kain putih dan perban di sana-sini, itu juga menjadi pertanyaan besar.

Untungnya, setelah mencoba berkonsentrasi terhadap keadaan sekitar, ingatanku perlahan-lahan kembali.

Aku ini Leo Marvel. Usia enam belas tahun. Baru saja terjun dari jendela perpustakaan sekolah karena dikejar-kejar sesosok hantu gila—walaupun aku tidak bisa memastikan apakah kejadian itu tadi malam, kemarin, sebulan lalu, atau malah sepuluh tahun lalu (yang artinya usiaku bisa saja sudah bukan enam belas lagi, melainkan dua puluh enam). Kondisi fisikku babak belur dan aku nyaris mati—melihat dari rasa sakit tak tertahankan yang menyerang kepalaku, sepertinya aku mengalami gegar otak kecil. Kondisi mental? Hampir sama gilanya dengan hantu tak berhidung yang mengerikan itu.

Kuharap tidak ada informasi yang kulewatkan.

Aku memberanikan diri untuk bangkit duduk perlahan-lahan. Awalnya, rasa pusing yang berdenyut-denyut menyerang semakin kuat, tetapi aku mati-matian menahannya. Setelah lima detik yang terasa sangat menyiksa, akhirnya aku berhasil duduk dengan berpegangan pada bagian samping kasur.

Hal pertama yang kulakukan adalah memutar pandangan ke sekeliling.

Ruangan ini hanya kamar rumah sakit biasa. Dinding putih tanpa cela mengelilingi dengan aksen berupa keramik-keramik putih gading yang entah mengapa mengingatkanku pada ruang kelas. Bedanya, kamar ini tidak sumpek. Malahan, bisa dibilang, suhu di sini sangat dingin berkat AC yang terpasang di sudut ruangan. Meja panjang yang kosong melompong terletak berseberangan dengan kasur tempatku duduk—menandakan belum ada yang berkunjung untuk menjengukku dan membawakan parsel atau semacamnya. Tirai cokelat yang tidak ditutup tergantung lemas di samping tempat tidur, membatasinya dengan meja kecil tempat sebuah remote yang berisi tombol pemanggil darurat dilakban erat. Di meja itu, juga terdapat bunga plastik yang jelas-jelas tidak berbau.

Tidak berbau.

Pemikiran itu membuatku sedikit lebih tenang, sebab setidaknya, aku tidak akan terganggu lagi oleh bau wewangian tak wajar yang berujung mempertemukanku dengan sesosok hantu mengerikan yang berkeinginan membunuhku.

Memikirkan itu, mendadak bulu kudukku berdiri lagi.

Aku merasakan kebas di tangan kiriku, dan segera menyibakkan selimut yang menutupinya menggunakan tangan kananku.

Dan saat itu barulah kusadari, tanganku tidak berada di sana.

Di tempat seharusnya lengan kiri bawahku berada, hanya ada udara kosong yang bersentuhan dengan perban kain berdarah-darah yang membebat lengan atasku yang buntung kuat-kuat.

Mataku spontan melotot. Aku ingin berteriak, namun suaraku tidak keluar. Gelombang rasa ngeri yang menjadi-jadi melanda sekujur tubuhku, membuatnya gemetaran tak keruan. Mendadak, suhu udara di sekitarku serasa turun berpuluh-puluh derajat. Kepalaku pusing dan air mata nyaris menjebol keluar.

[KUMPULAN CERPEN] Stacy's CursesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang