A Bloody Farewell (3)

63 7 0
                                    

This part of story was written by Cindy Handoko

MICHELLE POV

"Kita mulai dari mana, Ry?" Aku bertanya pada Henry yang kini tampak sama tegangnya denganku. Kini, sudah tinggal kami berdua di dalam villa, dan kami harus berusaha untuk menemukan Axel, bagaimana pun caranya. Melihat Henry yang hanya sanggup duduk membeku, aku tahu, aku harus mengambil inisiatif duluan.

Henry menoleh, masih dengan wajah seperti membeku. "Nggak tahu, Chelle."

Aku berdecak kesal dan memutar kedua bola mata. "Payah lo! Temen lo hilang, lo malah bengong aja!"

"Habis, gue syok," Henry menggumam. "Gue nggak nyangka kejadiannya bakal jadi kayak gini."

"So what? Terus, kalo lo nggak nyangka, lo harus bengong tanpa ngelakuin usaha apa-apa, gitu?! Apa Axel bakal datang sendiri kalo lo diam aja?!" Aku membentak. Dalam hati, aku rada menyesal sudah membentak-bentak Henry seperti ini. Tapi, mau bagaimana lagi? Kalau sedang panik, emosiku memang gampang meledak-ledak.

"Ya udah, ya udah! Lo tenang dulu, kek!" Henry balas membentak dengan kesal. "Pokoknya, apapun yang terjadi, kita nggak boleh misah. Bahaya kalo misah-misah. Mending kita nyari bareng-bareng."

Aku menggigit bibir bawahku dan mengangguk menyetujui. "Jadi, kita mulai dari mana?"

"Kayaknya kita harus mulai dari luar villa. Mungkin di sekitar villa dulu," Henry menjawab. "Di dalam villa rasanya nggak mungkin."

Aku terdiam sejenak untuk memikirkan ucapannya sebelum akhirnya memutuskan untuk setuju. "Ya udah, yuk, buruan."

Kami berdua bangkit berdiri dengan cepat. Henry berjalan di depanku, bersiap keluar melalui pintu keluar satu-satunya.

"Eh, Ry," aku memanggil. Langkah Henry terhenti, dan ia menoleh dengan wajah bertanya-tanya. "Kayaknya kita butuh senter. Gue ambilin dulu, ya?"

"Emang senternya ada di mana?" Henry balik bertanya, "Ini kan villanya Nico, Chelle. Memangnya lo tahu?"

Aku terdiam. "Nggak tahu, sih. Makanya, cari dulu. Di luar gelap, sama aja kalo kita keluar nggak pake senter."

Henry menghela napas panjang. "Ya udah, deh. Lo cari aja di kamar cowok-cowok. Gue nunggu di sini aja."

Aku mencibir, "Dasar pemales lo. Demi sahabat sendiri aja masih malesnya kayak gitu."

Henry memutar kedua bola matanya. "Gue nggak nganggur, kali! Gue juga ngawasin kondisi sekitar sini!"

"Ah, ya udah, ya udah, terserah lo lah," aku akhirnya pasrah. Dengan langkah tergesa-gesa, aku berjalan menuju kamar cowok-cowok yang terletak di lantai dua. Kamar itu terletak di koridor yang lebih sempit, terpisah dari kamar-kamar lainnya. Lampu di luar kamar memancarkan cahaya kuning remang-remang, membuat suasana menjadi temaram.

Langkah kakiku bergema di koridor kecil menuju kamar itu. Lantai kayu yang mendasari koridor berderak-derak, mengeluarkan bunyi-bunyian aneh. Situasi sangat sepi, membuat jantungku mau-tak-mau berdetak dua kali lebih cepat.

Tunggu dulu. Kenapa perasaan tak enak itu kembali lagi?

Aku menoleh ke belakang dengan waswas. Tapi, sama seperti yang sudah sering kutemui, tidak ada siapa-siapa di belakangku. Namun, aku tetap merasa diintai. Seseorang seperti sedang mengawasiku dari jauh—atau mungkin dari dekat, aku tidak tahu.

Suara tetesan air kran dari dalam kamar mandi yang ada di sebelahku membuat suasana jadi semakin terasa mengerikan. Ingin rasanya aku berlari turun kembali dan memeluk Henry sambil mengatakan bahwa aku ketakutan, tapi aku berusaha meyakinkan diri bahwa semua akan baik-baik saja.

[KUMPULAN CERPEN] Stacy's CursesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang