A Bloody Farewell (2)

74 6 0
                                    

This part of story was written by Cindy Handoko

BELLA POV

Pukul enam sore, akhirnya kami tiba di villa keluarga Nico. Villa itu tidak seberapa besar—setidaknya, villa itu masih kalah besar dibandingkan villa-villa lain di sekitarnya. Desain eksteriornya menyerupai bangunan Inggris zaman dulu—dengan ukiran-ukiran bergaya Victorian yang menimbulkan kesan luas dan mewah dalam villa itu. Kalau di hari-hari biasa, aku pasti akan langsung membelalakkan mata lebar-lebar sambil memekik, "Buset, villa lo keren banget, Nic!" dengan heboh. Tapi, sayangnya, karena sempat mengalami kejadian seram di rumah Rachel tadi, perasaanku jadi tak enak. Akibatnya, villa ini jadi ikut-ikutan terlihat seram di mataku.

"Ini, nih, villanya?" aku menggumam.

"Yep, welcome to my second home!" Nico membentangkan tangannya lebar-lebar di udara sembari tersenyum penuh kebanggaan. Semua orang sepertinya puas sekali dengan villa Nico yang supermewah. Buktinya, mereka semua kini terkagum-kagum dengan senyum menghiasi wajah masing-masing. Tapi tidak begitu denganku dan Michelle. Kami berdua sepertinya punya perasaan yang sama bahwa villa ini terlihat seram.

"Yuk, masuk. Ambil barang-barang kalian di bagasi, terus kalian boleh milih kamar sendiri," Nico berkata.

"Kamarnya boleh milih sendiri?" Henry bertanya dengan antusias, "Keren! Gue boleh milih kamar buat gue sendirian, dong?"

"Boleh sih boleh, tapi kayaknya nggak bisa, Ry," Nico menjawab.

Raut wajah Henry langsung berubah kecewa. "Lho? Kenapa?"

"Villanya udah lama nggak dipake, jadi beberapa kamar udah berdebu dan butuh tenaga ekstra buat ngebersihinnya. Mungkin cuma ada sekitar tiga kamar yang cukup bersih buat ditiduri."

Raut wajah Henry berubah lagi dari kecewa menjadi datar. "Yah... nggak asyik lo."

Kami semua terkekeh pelan melihat tingkah Henry yang suka kekanak-kanakan, kemudian mulai mengobrak-abrik bagasi mobil untuk mengambil barang bawaan kami masing-masing. Barang bawaanku sendiri tidak terlalu banyak—hanya sebuah tas ransel berwarna baby pink yang cukup untuk menampung baju-baju yang kuperlukan, serta sebuah tas selempang berwarma hijau yang biasa kugunakan untuk bepergian. Jadi, aku tidak perlu susah payah untuk membawanya masuk.

"Butuh bantuan?"

Tiba-tiba, Axel sudah muncul dari balik punggungku dan menawarkan bantuan. Karena hatiku masih diliputi ketakutan sejak tadi, aku pun kaget bukan kepalang melihat kemunculannya yang tiba-tiba. Refleks, aku meloncat mundur sambil mendorongnya menjauh. Ia tampak bingung melihat sikapku yang tidak biasa, dan aku buru-buru meminta maaf padanya soal itu.

"Sori, sori, Xel, aku cuma... refleks aja. Soalnya kaget," ujarku dengan cepat, "Mm... dan makasih buat tawarannya, tapi aku nggak masalah bawa barang sendiri ke dalam."

Axel mengerutkan kening. "Kamu aneh banget hari ini," gumamnya, "Masih takut soal tadi, ya?"

Aku menelan ludah. Jadi inilah tidak enaknya punya pacar yang sudah mengerti dirimu luar dalam. Dia tahu apa yang kau sembunyikan. Karena sudah tertangkap basah, aku pun akhirnya memutuskan untuk mengakui saja kenyataan itu daripada menepisnya.

"Iya, aku masih takut soal itu," jawabku, "Jujur aja, perasaanku nggak enak, Xel."

Axel terdiam sejenak, kemudian merangkulku dengan mesra. "Tenang aja, Sayang. Semuanya bakal baik-baik aja. Aku jamin itu."

Aku menghela napas panjang, kemudian mencoba tersenyum lebar. "Aku percaya kamu."

Tiga kata itulah yang kemudian kupegang erat dalam hati. Semuanya pasti akan baik-baik saja, dan aku percaya itu.

[KUMPULAN CERPEN] Stacy's CursesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang