A Bloody Farewell

92 6 2
                                    

This part of story was written by Cindy Handoko

Aku bukan orang bodoh...
Bukan juga orang buta
Di balik serangkaian cerita janggal ini,
aku sepenuhnya tahu permainan apa yang menanti

Sebab itu, jika bagimu ini adalah sebuah permainan
Maka akan kutunjukkan cara memainkannya
Kau hanya perlu menunggu, dan di situlah kau akan tahu...

***

RACHEL POV

Sore sudah menjelang. Hujan deras turun membasahi permukaan kota Jakarta yang bernaung awan tebal nan gelap. Angin kencang menyambar gedung-gedung tinggi pencakar langit yang kini tampak muram nan sendu. Berkas-berkas sinar mentari tak nampak, tertutup oleh awan hitam yang mengguyurkan air hujan tanpa henti. Sesekali, kilat membelah langit, disusul bunyi gemuruh guntur yang menggelegar.

Di jam-jam seterlambat ini, biasanya aku sudah pulang, meringkuk di kasurku yang sekeras aspal sembari menyelimuti sekujur tubuhku dengan selimut yang lebih mirip potongan kain kumal. Atau mungkin duduk berdesak-desakan dengan warga satu RT di rumah supersempit yang ukurannya kurang-lebih sama dengan rumahku, menonton acara TV bersama-sama melalui satu-satunya TV yang ada di RT-ku—yang berarti sebuah TV kuno milik Pak RT yang kadang-kadang harus dipukul dengan tenaga sekuat tenaga kuda agar gambarnya tidak buram. Apa pun itu, yang jelas bukan berdiri dengan lemas memandangi papan pengumuman sekolah dengan seragam yang telah basah kuyup seperti ini.

Yang kupandangi bukanlah rubrik berisi cerpen yang ditulis anak-anak penggemar sastra. Bukan juga TTS kuno yang dibuat oleh anak-anak kurang kerjaan. Yang benar saja, ini kan bukan mading, ini papan pengumuman.

Lantas apa yang kau harapkan dari sebuah papan pengumuman yang sudah penuh bekas selotip kering di ujung-ujungnya seperti ini?

Yep, tidak salah lagi. Hanya ada satu jawaban untuk pertanyaan itu : pengumuman kelulusan dari hasil ujian sebulan yang lalu.

Pengumuman ujian ini bukan pengumuman ujian biasa—yang hanya memberitahu apakah kau dapat ranking atau malahan berada di posisi terakhir. Melainkan pengumuman ini, bisa dibilang, adalah pengumuman yang menentukan seluruh hidup dan masa depanku.

Untuk itulah, aku kini berdiri dengan wajah penuh harap, memandangi selembar kertas yang masih mulus—pertanda kertas itu baru saja ditempel siang ini—sambil mencari-cari namaku di atasnya, seperti yang sudah berulang kali kulakukan sejak bel pulang sekolah berbunyi dan murid-murid masih ramai berkeliaran di sekitar sekolah tadi siang. Namun, sama seperti setiap kali aku melihat—dan bahkan memelototi—kertas itu, namaku tetap tidak tertera di atasnya.

Tidak. Ini tidak mungkin.

Apa mereka kelewatan dalam mencetak namaku? Atau ada kesalahan dalam data komputer mereka?

Mataku kembali mencari-cari dengan liar, namun hasil yang kudapatkan tetap sama saja. Tidak ada yang berubah dari deretan nama-nama yang diumumkan sebagai nama-nama yang lulus ujian. Tetap tidak ada namaku.

Mungkin bagi beberapa orang, hal ini bukan sesuatu yang perlu terlalu dibesar-besarkan—terutama bila mereka dungu dan selalu dapat nol dalam setiap ulangan yang mereka ikuti. Tapi, bagiku—si peraih tetap ranking pertama yang nyaris selalu dapat nilai seratus dalam setiap ulangan yang kuikuti—hal ini tentu saja terasa janggal.

Rasanya aku sudah mengerjakan ujian itu dengan baik, lalu bagaimana keadaan bisa menjadi seperti ini?

Aku tidak mungkin tidak lulus. Bahkan, sebelum hari ini, aku sudah amat yakin bahwa hasil ujianku bakal dilabeli sebagai hasil ujian dengan nilai tertinggi. Pasti ada kesalahan dalam kertas hasil ujian jelek ini. Pasti namaku seharusnya ada. Pasti namaku seharusnya berada di posisi teratas.

[KUMPULAN CERPEN] Stacy's CursesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang